Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
DaerahProvinsi Gorontalo

Krisis Demokrasi: Arogansi Institusi Negara Menyikapi Gerakan Mahasiswa

×

Krisis Demokrasi: Arogansi Institusi Negara Menyikapi Gerakan Mahasiswa

Sebarkan artikel ini

WINNET.ID – Kemarin, kita dibuat heboh dengan potongan video yg memperlihatkan seorang mahasiswa yang dalam orasinya menyebut, “Presiden Kont*l” di tengah aksi penuntutan atas kenaikan BBM subsidi, di Gorontalo.

Ada pro dan ada juga yang kontra, dan seketika banyak orang yg menjadi ahli moral yang merasa paling punya adab dari yg lain. Tetapi, kita tidak akan bicara soal apakah kata “kont*l” itu baik atau buruk, bermoral atau tidak. Terlalu dangkal. Kita mesti membawa peristiwa ini dalam dialektika yg sehat dan substansial.

Ternyata, di tengah hiruk-pikuk percekcokan manusia-manusia ahli moral itu, sang orator akhirnya ‘diamankan’ oleh penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Katanya, alasan mengamankan itu bahwa yang dilakukan sang orator merupakan tindakan penghinaan terhadap presiden.

Meskipun tidak sampai ditahan, tapi kita tetap harus curiga kenapa masalah ini harus dibawa ke ranah kepolisian. Kalau alasannya “Soft Approach”, pencegahan, justru tidak relevan, sebab dalam kasus ini tidak ada potensi konflik atau implikasi besar lainnya, yg ada hanya keriuhan di media sosial, apalagi peristiwa tersebut bukanlah tindak pidana.

Untuk memperdalam uraian, pertanyaan penting yg perlu ajukan adalah apa dasar hukum dari tindakan kepolisian untuk mengamankan si orator. Apakah penghinaan? Sebagai delik, ini problematis. Untuk mengurai masalah ini, kita perlu mendudukkan terlebih dahulu fungsi kepolisian sistem peradilan pidana.

Rangkaian penyelesaian perkara pidana, terdiri atas beberapa tahapan yang dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum. Untuk mengetahui apakah suatu peristiwa hukum tersebut merupakan tindak pidana atau bukan haruslah diadakan suatu penyelidikan.

Yang berwenang untuk melakukan penyelidikan adalah kepolisian. Sumber tindakan untuk mengetahui adanya tindak pidana adalah melalui pengaduan (hanya untuk tindak pidana aduan), laporan, tangkap tangan, dan pengetahuan penyidik atau penyelidik sendiri.

Dalam konteks dugaan penghinaan terhadap presiden, memang diatur dalam KUHP. Ada banyak pasal, misalnya pasal 130, 134,136,137,207, dan seterusnya. Akan tetapi, sebagian dari pasal-pasal itu telah dicabut oleh MK, misalnya pasal 134, 136, dan 137. Yang tersisa hanyalah pasal-pasal yang merupakan delik aduan.

Berkaitan dengan delik aduan, merupakan delik yang hanya eksis bila ada yang mengadu, contoh kecil pencemaran nama baik. Jadi selama tidak ada aduan, maka suatu peristiwa tidak boleh diduga sebagai tindak pidana. Yang mengadu pun tidak sembarang orang. Harus korban atau keluarga dekat korban.

Jadi, kalau kita kembali ke konteks penghinaan terhadap presiden, maka sebuah tindakan akan dianggap sebagai tindak pidana penghinaan, bila presiden sendiri mengadu kepada kepolisian karena merasa terhina. Dan aduan tersebut, menjadi dasar kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Berdasarkan hal tersebut, menjadi hal yang sangat ganjil ketika kita mendapati bahwa dalam kasus peristiwa demontrasi kemarin, polisi menjadi aktif mengambil tindakan pada sesuatu yg bukan tindak pidana, sebab belum ada aduan. Ini mengindikasikan bahwa ada cenderungan keberpihakan dan arogansi dalam penegakan hukum.

Harusnya kepolisian menahan diri dan bersikap hati-hati untuk mengambil tindakan yang berkaitan dengan aktivitas kritik warganegara yang berhadap-hadapan dengan negara. Sebab, orang akan melihat polisi menjadi tidak independen dalam menjalankan fungsi penegakan hukum dan itu merusak citra kepolisian.

Tindakan yang paling disayangkan adalah kenapa harus ada video permintaan maaf. Apalagi minta maaf kepada presiden, padahal kita tidak tahu apakah beliau tersinggung atau tidak, yang kita tahu presiden menyiksa petani, nelayan, pelaku UMKM, juga seluruh masyarakat indonesia saya karena dampak dari naiknya BBM. Kebijakan itu buruk dan pantas dicaci-maki.

Saya pribadi memandang video itu, secara tidak langsung, membunuh karakter si orator. Itu sama dengan mempermalukan dia di hadapan publik. Padahal, Dia tidak menghina orang, baik itu pribadi Jokowi, pribadi pak rektor, masyarakat, apalagi orang tuanya. Dia hanya menghina pejabat publik, dan itu sudah menjadi resiko para penguasa dalam demokrasi.

Lebih jauh, peristiwa ini menimbulkan trauma kolektif di kalangan aktivis mahasiswa. Orang tidak akan lagi leluasa dalam mengkritik secara apa adanya, terbatas kosa katanya karena dihantui kecemasan dan ketakutan akan berhadapan dengan alat kekuasaan. Bila psikologi publik menjadi seperti itu, implikasinya akan buruk bagi kualitas demokrasi, khususnya di Gorontalo.

Sekali lagi, bila kita menganggap ini masalah moral, maka biarlah ini menjadi masalah moral. Moralitas publik punya logikanya sendiri dalam memberikan sanksi terhadap siapa saja yang dianggap melanggar. Tidak perlu kita bawah ke tangan penegak hukum. Tidak ada istilah polisi moral dalam demokrasi. Lagi pula, sejarah politik sudah membuktikan, hanya di negara totaliter dimana moral dan hukum diurus sekaligus oleh negara.

Terakhir, masalah ini jangan dianggap sepele, sebab ini menyangkut kebebasan berbicara warga negara dan merupakan hal esensial dalam keberlanjutan negara demokrasi. Kita tidak boleh berkompromi dengan penguasa dalam soal ini. Kata Albert Camus, “Kebebasan bukanlah hadiah dari negara, ia adalah hak yang mesti diperjuangkan oleh setiap orang dengan cara sendiri-sendiri dan dengan usaha bersama”.

Tabe.

Oleh: Gugun Pohontu, Anggota HMI Badko Sulut-Go

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *