WINNET.ID – Pada penutupan Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan I/Tahun 2022 di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Gorontalo, saya memperoleh cindera mata berupa buku ‘Ketidaknetralan Birokrasi di Indonesia: Studi Zaman Orde Baru Sampai Orde Reformasi’.
Buku tersebut diberikan langsung dari penulisnya, Bapak Hamka Hendra Noer, selaku Penjabat Gubernur Gorontalo. Suatu kehormatan tersendiri dapat diberikan langsung oleh beliau, di mana saya saat itu menjadi salah satu dari 12 peserta PKA dengan predikat ‘Prestasi Istimewa’.
Sudah menjadi pemahaman umum yang sulit untuk dibantah jika birokrasi di Indonesia sulit untuk netral. Secara etimologi, netral berarti ‘tidak memihak’, birokrasi idealnya hanya melayani kepentingan negara/rakyat, bukan sebaliknya melayani kepentingan politik kekuasaan. Karena jika demikian, birokrasi hanya menjadi ‘abdi kekuasaan’ bukan ‘abdi Negara’.
Sangat berbahaya apabila birokrasi menjadi abdi kekuasaan, ia mengerdilkan dirinya hanya sebagai mesin politik kekuasaan, tak ubahnya partai politik yang mengusung kekuasaan.
Individu maupun sistem yang bekerja dalam birokrasi itu hanya melayani kehendak politik ‘tuan’nya, meskipun kehendak itu bertentangan dengan tujuan dari birokasi itu sendiri.
Fenomena ini yang dengan sangat baik dikupas oleh penulisnya, Hamka Hendra Noer, seorang birokrat yang menjabat sebagai ‘pelayan rakyat’, yang menyandang gelar Ph.D. Penulis dituntut berdasarkan sumpah jabatannya, untuk bekerja melayani rakyat, meningkatkan taraf hidupya, serta memerdekakan mereka dari kemiskinan.
Ini juga menunjukan nyali seorang Hamka Hendra, ia berani menulis sebuah karya yang akan ‘menelanjangi dirinya sendiri’. Karena ketidaknetralan birokrasi, dalam hal ini birokrasi di daerah, salah satunya akibat intervensi politik yang diperankan oleh kepala daerah, utamanya yang terpilih dari usungan partai politik (Parpol).
Riwayat panjang ketidaknetralan birokasi di Indonesia mulai era orde lama (Orla), orde baru (Orba), hingga era reformasi diulas dengan sangat baik oleh penulis pada BAB III hingga BAB V.
ASN pada Sekretariat DPRD Provinsi Gorontalo
Bandul kekuasaan yang bergerak dinamis menuntut secara paksa birokrasi pada kondisi- kondisi tertentu untuk bergerak mengikuti irama itu. Ketidaknetralan birokrasi dengan sangat vulgar ditunjukan pada era Orba, ketika birokasi dan individu pegawai negeri sipil (PNS), selama beberapa dekade dipaksa mengikuti warna politik tertentu.
Hal tersebut memberikan sokongan politik yang sangat besar kepada partai politik penyokong dinasti Orba, ketika itu yang berkali-kali memenangi pemilihan umum (Pemilu). Birokrasi zaman Orba berada pada ‘era jahiliyah’ yang terkungkung dalam fanatisme politik buta dan tidak bisa memerdekakan dirinya ketika Orba tumbang melalui people power Tahun 1998 lalu.
Lantas, apakah dengan tumbangnya Orba kemudian memerdekakan birokrasi di Indonesia? Jawabannya tidak! Rezim hanya berganti baju atau berganti nama, namun isi di dalamnya tetap sama. Isinya adalah; korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ditambah dengan praktik konflik kepentingan (conflict of interest) dan memperdagangkan pegaruh jabatan (trading influence) yang cukup masif.
Lihat saja, sudah berapa kepala daerah dan penyelenggara Negara terjaring kasus pidana; baik oleh KPK, Kepolisian maupun kejaksaan? Euforia reformasi berganti menjadi disforia, saat korupsi masih merajalela pasca Soeharto lengser. Dari korupsi skala besar (mega korupsi) hingga skala kecil, dan korupsi dilakukan secara telanjang, di ruang-ruang rapat Badan Anggaran DPR mereka terang-terangan memberi ‘kode khusus’ untuk item kegiatan yang bisa di-mark up, di kantor-kantor dinas, kecamatan, kelurahan, mereka tidak malu menyunat anggaran.
Sampai pada RT/RW sebagai wajah negara yang paling kecil tingkatannya, mengurus surat keterangan saja dimintai uang. Fakta itu menunjukan betapa rentannya birokasi disusupi kepentingan politik pragmatis yang menggergaji hakikat birokasi itu sendiri. Situasi demikian dengan sangat apik diulas oleh penulis pada BAB VI; Birokasi pada era Megawati dan SBY.
Pada era Megawati, penulis mengambil contoh kasus BLBI yang merugikan Negara triliunan rupiah berdasar hasil audit BPK yang menyatakan bahwa lebih dari 97% pengeluaran BLBI tidak dapat dipertanggungjawabkan (hlm. 253). Korupsi di daerah juga menjamur dengan bermunculannya dinasti politik lokal yang membajak sumber daya ekonomi, karena transisi kekuasaan dari Orba ke Reformasi hanya menyediakan ‘karpet merah’ bagi para dinasti lokal untuk berkuasa dan melakukan ‘korupsi berjamaah’.
Penulis mengungkapkan ‘ada daerah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh potensial, namun ada juga daerah yang dipimpin oleh mereka yang kurang kredibel, korup, dan malah kriminal. Oleh sebab itu selama Tahun 2004, di akhir pemerintahan Megawati dan awal pemerintahan SBY, cukup banyak anggota DPRD di seluruh Indonesia dituduh melakukan korupsi, ditangkap polisi dan dimasukan ke penjara. Kasus tersebut menunjukan bahwa Indonesia masih mengalami kesulitan besar dalam mengatasi KKN dan lemahnya birokrasi” (hlm. 258).
Korupsi kepala daerah di era desentralisasi Otoda mengingatkan pada tulisan Mansur Olson ‘Power and Prosperity: Outgrowing Communist and Capitalist Dictatorship‘. Olson mengatakan“…the stationary bandit has a monopoly of coercion and can expropriate whatever she wants…”(bandit besar memonopoli pemaksaan dan dapat mengambil alih apapun yang dia mau..). Olson mengemukakan teori tentang “roving bandit” dan “stationary bandit.” Stationary bandit adalah bandit besar yang menetap.
Soeharto pada masa Orba adalah karakter “bandit” yang disebut Olson. Ia menguasai hampir seluruh wilayah dan sumber daya di Indonesia. Sedangkan roving bandit adalah para begundal yang berkeliaran, tidak menetap, berpindah-pindah menjarah tempat. Para roving bandit ini tak bernyali mengganggu kekuasaan sang bandit besar.
Pada saat sang bandit besar berkuasa, ia menjadi penguasa tunggal atas seluruh kekayaan dan sumber daya ekonomi. Namun saat masanya berakhir, bandit-bandit kecil atau roving bandit itu mengambil alih penguasaan sumber daya ekonomi, membaginya ke kekuasaan- kekuasaan kecil. Apa yang diulas penulis dalam buku ini adalah sebuah fenomena yang disebut patologi birokrasi.
Sebuah istilah yang menunjukan penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan dalam birokrasi. Proses patologi birokrasi yang akut di Indonesia ini bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi terpelihara sejak lama. Birokrasi sudah terbiasa menjadi simbol kemakmuran dan kerajaan bagi aparatnya untuk mendapat pelayanan dari masyarakat.
Kultur pangreh praja (rakyat mengabdi pada pemerintah/raja) ada di birokrasi zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa terjadi di zaman penjajahan. Patologi birokrasi ini memberi dampak terhadap maraknya praktik KKN dalam birokrasi pemerintah yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan ketidakadilan serta pemihakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun penyedia layanan publik.
Ketidakadilan dan pemihakan berimbas pada ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan publik tersebut. Hukum dapat dengan mudah dikalahkan dengan suap, gratifikasi dan iming-iming lainnya yang dilakukan oleh oknum. Pada skala yang lebih massif, dampak dari korupsi birokrasi ini adalah runtuhnya otoritas pemerintahan (KPK: 2019). Padahal tidak sedikit aturan maupun kode etik dan pedoman perilaku yang mengatur itu. Salah satunya misalnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Sangat Menekankan Etika Penyelenggara Negara.
Tingginya angka penindakan kasus korupsi, baik yang disidik Komisi Pemberantasan Korupsi, maupun kejaksaan dan kepolisian menunjukkan etika jabatan masih belum dimaknai dan dijiwai oleh pejabat publik atau penyelenggara Negara dalam menjalankan rule of ethic dalam birokasi. Laporan Rule of Law Index (ROLI) Tahun 2020 menunjukan kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia berada pada peringkat 59 dari 128 negara dengan skor sebesar 0,53 poin dengan skala 0-1. Salah satu indikator di dalam ROLI adalah tidak adanya korupsi, dengan empat variabel, yaitu tidak adanya korupsi di cabang eksekutif, tidak adanya korupsi di yudisial, tidak adanya korupsi di polisi/militer dan tidak adanya korupsi di legislatif.
Pada akhirnya kita hanya mampu terus menerus mendorong agar birokrasi dijauhkan, atau menjauh dari intervensi politik yang akan mendegradasi hakikat keberadaan birokrasi itu sendiri. Sebagai ASN saya memberi apresiasi dan menyambut baik terbitnya buku ini, buku ini sangat layak, bahkan harus menjadi bacaan wajib bagi para pemerhati birokrasi untuk meningkatkan pemahaman dan membangun gerakan yang sama dalam ikhtiar membebaskan birokrasi kita dari cengkeraman politik kekuasaan.
Odu’olo…
Gorontalo, 18 Juli 2022
Penulis: Yolanda Rahman, S.E.. M.Ec.Dev