Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
CerpenMovieWoman

Kamu Adalah Obsesi Terpanjang Yang Pernah Datang.

513
×

Kamu Adalah Obsesi Terpanjang Yang Pernah Datang.

Sebarkan artikel ini

WINNET.ID – Kesunyian menjadi teramat merdu setelah luka lama kembali membunuh. Bagian air mataku sudah benar-benar kering. Bagaimanapun aku telah diingatkan, bahwa mencintai dapat melukai. Tak sengaja proses membawa untuk mengenalnya dari sebuah keadaan yang tak pernah terduga. Meski jalan itu memang akan rumit, aku menginginkanmu lebih dari apapun saat ini. Kamu datang tanpa permintaan berbentuk komplit dengan segala permohonan a hingga z.

Benar adanya kita adalah dua manusia yang sangat berbeda. Ah rasanya telah berulang kali aku terus di beri tahu bahwa ruanganku tak akan pernah sampai menjamah isi kepalamu yang rumit. Namun tetap saja aku masih bersikeras, ego ini memang sedang meledak dengan separah itu. Aku pun tak tenang, menyempitkan isi kepala agar dapat bersembunyi dan berpura-pura saja tidak ada hal runyam yang akan terjadi setelah ini. sayangnya pikiranku kali ini tak mematuhi urutan kejam yang baru saja kurencanakan, bagaimana ini aku telah menyerah atas takdir yang direncanakan tuhan. Sekeras apapun menolak yang datang akan tetap datang, dan yang pergi akan selalu menemui cara untuk pergi lebih jauh dari perkiraan manusia yang sering meleset.  

Harus ku gambarkan seperti apa pertemuan ini?, yah Bara adalah sosok pria yang sesungguhnya mudah saja aku menjelaskan bagaimana bentuk fisik pria tinggi dengan segudang prestasi dibeberapa bidang. Salah satunya ia mahir bermain gitar dan juga membuat sebuah narasi lagu inggris yang artinya manis sekali. Awalnya Bara hanya teman yang kurang lebih berteman denganku sekitar tiga tahun, yah aku dan dia pun jarang berkomunikasi secara intens.

Bara menjadi orang yang sangat dikagumi di kalangannya, mengapa? Karena keramahan dan kerenyahannya dalam melebur suasana menjadikan beberapa kawan senang apabila bertemu dengannya. Kali ini Bara menjadi satu-satunya objek di isi kepalaku ketika mendapatkan masalah yang hampir merusak mental.

“Bar, “

Sapaku melalui laman sosial media instagram, tak butuh waktu lama notifikasi pun muncul sebagai jawaban atas pesan yang baru saja ku kirim padanya

“yah, rara kenapa? Ada yang aku bisa bantu buat kamu?”

Pertanyaan lengkap kini menganjurkan aku untuk menjawab persoalan apa yang telah membawa kalimat panggilanku melayang padanya. Bara masih menanti ceritaku, dia pria yang hari ini entah menjadi pilihan untuk berbagi isi kepala.

“Bar, entah kenapa aku selalu punya feeling kuat terhadap hal-hal yang tiba-tiba mengarah buruk ke aku, semisal aku sadar sedang diceritakan orang, atau mereka gak suka ke aku, atau mereka yang sengaja mencari keburukan ku hanya karena kejadian masa lalu yang membuatnya menyimpan dendam. Aku benci dengan isi kepalaku yang sadar akan hal-hal itu, berulang kali aku coba buat bodo amat, ayolah jadi manusia yang bodo amat.

Tapi justru aku terjebak di lingkungan itu, aku ada dilingkungan itu, bagaimana aku bisa bertindak bodo amat. Sebenarnya apa sih salahku? Bar aku bahkan gak ganggu hidup mereka, aku gak makan dari uang mereka, tapi kenapa selalu aku yang dijadikan bahan untuk mereka ceritain. Sumpah masalah ini ganggu mental aku banget, di tambah kamu tau kan si Roy, mantan aku dua tahun lalu? Inget gak?”

“Gini deh kita ketemu aja gimana, biar kamu enak ngobrolnya dan kamu bisa lepas dari masalah ini. Cuma untuk saat ini aku saranin sekarang kamu cabut deh dari lingkungan itu. Aku paham banget kondisimu, cabut yah mental kamu lebih penting, jangan nyiksa diri sendiri ra”

Bara memberi saran untuk segera pergi dari lingkungan ini, aku tau benar mengapa kata-kata begitu mudah terucap dibandingkan melakukannya. Terkadang olah pikir manusia begitu ribet, rima berbeda dan akhir yang terjadi kadang tak sesuai dengan titik-titik yang telah direncanakan.

Posisi Bara dan aku sangatlah jauh berbeda, Bara mungkin pernah mengalami posisi yang sedang terjadi padaku saat ini. Namun, Bara belum memahami seberapa lemah mentalku harus menguatkan diri untuk tiba-tiba pergi dari lingkungan itu. Menyusun strategi penuh agar tidak melukai siapapun atas kepergian tanpa alasan yang jelas.

Jika aku tak memberi penjelasan yang utuh mungkin akan timbul pertanyaan bahkan menjadi bahan perbincangan setelah kepergianku. Itulah mengapa isi kepalaku diaduk penuh, merampas paksa pikiran untuk sebisa mungkin menjelma menjadi rubah licik.

Benar Bara! tak ada yang salah, Bara justru memberi satu solusi untuk menjadi setidaknya hari ini saja egois. Aku harus memikirkan hal-hal yang menyenangkan, menyampingkan keberadaan semua pengaruh negatif yang sedang nikmat berkeliaran di area rumah ku. Manusia punya jatah egois masing-masing, dan berhak dipergunakan untuk melindungi diri dari segala serangan yang tak punya aturan dan begitu menyakitkan.

Sayangnya, kakiku masih terasa lemah. Tidak mendapatkan cara pergi dari lingkungan ini. “kamu kuat,Tuhan memelukmu begitu erat” kataku sambil menahan diri, menjaga kestabilan emosi agar tidak ricuh dan lari dari kendaliku.

“Bar, aku belum bisa pergi, gak enak sumpah”

“mau sampai kapan gak enak terus raraaa”

Batinku mengigil, sekali lagi dijambak habis namun ekspresi visualku bekerja sesuai rencana. Tak ada yang tahu percakapan di dalam kepalaku, ruas pipi kiri dan kanan masih menarik senyum seadanya. Ikut segala bentuk pembahasan yang sesungguhnya begitu menyebalkan jika dilingkungan ini menggunakan topeng yang aku tahu isinya.

Ah bagaimana aku sesial ini, lingkaran setan apalagi ini tuhan, tidak bolehkah aku serakah? Mengapa harus kau ciptakan hati selembut ini, memiliki perasaan sekuat ini, bahkan disakiti berulang kali tetap saja mau menerima kembali bila dibutuhkan.

Pantas saja nenek berkata, “rara itu anak yang ikhlas, disakiti berulang kali pun ia memilih untuk menerima kembali. Walau sakitnya bukan main hingga menangis terisak-isak”

“Baraa, aku harus gimana?, aku pun muak. Aku pengen cerita, masalahku gak Cuma ini, tapi yang ini juga tambah-tambah masalah”

Bara pun menelfon, mengecek keadaanku yang terlihat buruk di dalam sebuah pesan yang terbaca lima detik lalu olehnya. Namun isi kepalaku mengirim isyarat untuk tidak mengangkatnya, dan memilih memberi kode tersendiri kepada Bara melalui direct massage.

“Bar ketemu besok aja gimana?”

Setelah Bara menyetujui kesepakatan yang baru saja dibuat, kami berdua mengatur tempat pertemuan. Tempat dimana hanya Bara yang menjadi pendengar kali ini, sambil memberi ramuan-ramuan penenang sebagai metode yang diajarkan ketika seseorang membutuhkan ruang saat berada pada titik terendahnya.

Namun metode ini jarang diketahui banyak kalangan, atau hanya beberapa orang dewasa yang sudah mempelajarinya melalui perjalanan panjang dalam kehidupan yang penuh lika liku kalau kata para petuah bijak. Metode ini dikenal sebagai “curahan hati” model pemberian atau pembagian perasaan yang memberat bila ditanggung sendiri.

Ada beragam tipe dalam mendengarkan, salah satu tipe terburuk dalam mendengarkan adalah ikut campur lalu membandingkan masalah yang dialaminya dengan masalah dari pihak yang sedang dirundung banyak masalah. Sangat disayangkan bukan? Tidak memahami perasaannya namun ikut campur seolah-olah lebih tersakiti.

Bara pernah berkata dan mengajarkan aku untuk tidak memotong apapun bentuk percakapan yang belum selesai dijelaskan, sebab tak ada yang bisa mengulang isi kepala manusia sebaik penjelasan pertama. Itulah mengapa Bara menjadi orang paling sempurna jika harus mendengarkan masalah ini.

***

Pertemuan dimulai, malam ini pukul 19.30 aku sampai pada rumah milik orang tua Bara, pria bertubuh tinggi keluar sambil mengenakan jaket hitam miliknya. Ia menatap penuh kedua mataku yang selalu menghindar apabila telah rekat menuju keberadaanku yang sedang terduduk di sebuah kursi depan rumahnya. Bara menyapa sambil tersenyum

“rara, gimana udah mendingan?”

Keadaan yang sejujurnya aku bingung harus berucap apa pada Bara. Mau dikatakan baik-baik saja sebagai basa-basi yang basi atau memilih tersenyum agar dapat disimpulkan sendiri oleh Bara.

Setelah patah hati dengan kejam aku memang tidak membuka hati untuk siapapun yang hendak mengenal, dekat atau melalui proses panjang untuk hidup denganku. Tekanan batin yang makin memiliki catatan buruk hampir menghilangkan sepenuhnya kepekaan terhadap rasa. Tidak ada siapapun yang tinggal di pikiranku, mereka hanya lalu lalang dan kubiarkan pergi dengan sendirinya tanpa membekas.

Lelah dan benar benar jelas membenci keadaan hampir tak pernah selesai untuk diungkapkan pada narasi panjang atau cerita mati yang hanya didengar beberapa orang saja. Mereka tinggal dengan sangat nyamannya.

Akupun terus merasa tewas ketika memikirkan bagaimana  bisa menyia-nyiakan waktu hampir dua tahun dengan seseorang yang akhirnya menjadi pisau yang menyayat diri sendiri. 

Kadang beberapa saat kubiarkan mereka mengembara menjadi satu memori dalam kotak yang sewaktu-waktu bisa aktif bila di picu sebuah keadaan yang terasa begitu lekat dengan ingatan. Namun perkara inilah yang selalu menjadi halangan terkuat ketika hendak memulai sebuah hubungan baru, sayangnya aku belum mau memberikan orang baru untuk memiliki ruang paling sempurna di dalam kotak paling kecil diantara kotak-kotak besar lainnya.

Mereka hanya kubiarkan mengaktifkan kembali perasaan sialan itu yang mati hanya karenanya. Sudah beberapa kali dan ternyata sia-sia, mereka tak mampu menyentuh kotak kecil itu, mengetuk saja bahakan tidak seorang pun.

Kini Bara duduk dekat dengan mataku, menyaksikan betapa wanita bodoh di depannya ini memiliki ruang pikiran sempit dan terkekang dengan hal-hal yang sejujurnya telah lama berlalu. Bara memulai percakapan itu, sesungguhnya aku merasa sedang konsultasi kepada psikolog terahli soal perasaan.

“coba gimana, apa sih yang membuat seorang rara hampir merasa hilang arah”

Gurau Bara menjelma menjadi pesan agar aku mencoba merelaksasikan seluruh saraf yang sedari lima belas menit yang lalu terasa tegang.

“ngeledek nih,”

“gak deh, sekarang coba kamu ceritain, kenapa ada apa?”

“mulai dari mana aku bingung,”

“dari hal yang paling mendalam aja,”

Aku coba merenung, lalu memilih mencari akar masalah yang berada pada di salah satu lembar-lembar ingatan.

“ah, kamu ingat gak sewaktu kita ketemu di caffe, aku pernah cerita kalau aku sebenarnya mencoba untuk terbiasa dan mengikuti keadaan sejujurnya aku tidak nyaman disitu”

Iyah Bara dan aku sempat bertemu sebelum masalah peperangan ini muncul, dari mataku Bara pun memang sudah melihat bahwa aku tidak sedang berada pada kata dan jalur baik-baik saja. Dari sanalah aku mencoba memulai cerita tersebut,

“oh yang itu ia ingat, mata kamu gak bisa bohong. I know”

“sudah sekitar satu bulan ini aku kaya ngerasa semua gak ada artinya, romansa gagal, pertemanan toxic dan ditambah masa lalu yang cukup menguras energiku Bar,”

“aku gak tau ini ngebantu apa enggak, cuma yang bisa aku lakuin disini dengerin kamu sampai kamu bener-bener tenang”

Bara sedang mengisi satu kotak yang terluka, disana Bara bertugas memberi obat, mengurangi perih yang berlebihan dan menjadi penenang saat terpuruk.

“ apa ini termasuk titik terendah Bar?, aku pernah mengalami hal ini tahun kemarin selama kurang lebih empat bulan. Disana aku kaya ngerasa pengen nangis tiba-tiba, marah tiba-tiba gak jelas, sakit hati sendiri kadang bahkan gak ada penyebabnya. Dan paling parahnya itu berulang terus sampai dulu aku pernah berpikir bunuh diri. Orang tua aku jelas gak tahu Bar, mereka hanya menuntut untuk selesai pendidikan dan berpredikat Sarjana. Mentalku seburuk itu, pernah rencana mau cari psikolog cuma buat konsultasi, tapi selalu aja takut. Bahkan beberapa kali aku berpikir untuk minum obat Bar, obat yang memang diresepkan untuk orang-orang yang mengalami mental kaya aku. “

Bara masih terdiam mendengar cerita kejam yang baru saja ku kumandangkan padanya. Ia pun menarik nafas panjang, mungkin dalam benaknya sedang mencari jalan tengah yang bisa ku coba dan menjadi satu-satunya pilihan untuk saat ini.

Seperti isyarat koma dalam dunia medis, rute menuju perbaikan seakan-akan tidak terdeteksi. Nafas memang masih berhembus, namun raga seperti telah resmi menelan pil kematian lalu memilih tidak sadarkan diri saja.

Tuhan begitu merdu meracik kata dan kalimat sedemikian rupa hingga tak ada suara lucu bergemetar hanya sekadar menepis trauma dan rasa sakit. Kosong adalah definisi pada kota yang sedikit lagi akan benar-benar tewas.

“ Rara, sementara ini kamu harus egois. Jauhi hal-hal yang hanya menambah beban dan merusak mentalmu. Kamu pasti bisa memilih dan memilah hal-hal yang harus kamu jauhi dan dekati. Orang sepintar kamu gak harus bersikukuh terjebak. Ini hanya pengaruh pikiran aja. Aku tau rasanya, bahkan kamu sudah mendengar cerita situasi tersulit berangsur luruh dan kembali normal dalam hidupku”

Bara mencoba membuka jalur lain dalam gelapnya dan tersudutnya sebuah pikiran. Ia tak sedang membandingkan, sudah semestinya aku harus menemukan gambaran terang lainnya untuk menyadarkan diri. Mungkin dengan cara ini sedikit mengurangi sakit yang teramat parah dengan intensitas sembuh yang minim.

Aku masih terdiam mendengarkan bagaimana musim semi mengajakku pulang dan berkemas dari luka parah yang ku terima sendirian.

“Bar, bagaimana aku bisa menang dengan pikiran?. Jika setiap sudut yang belum sepenuhnya diperbaiki harus terpaksa dirusak bahkan jauh lebih parah”

“kenapa mentalku selemah ini sih Bar,”

Berkali-kali aku mengirim resah yang teramat dalam pada Bara. Mengharap pengertian tinggal secara permanen hanya untuk merawat hasil sayatan yang tak kunjung sembuh.

Mata Bara melangkah tajam memperhatikanku, aku yakin isi kepala bara sedang memutar bekerja keras demi keperluan apa yang bisa membantuku kali ini. 

Bara membuang suara lembut sambil memberi binar bahwa aku akan sembuh dari perdebatan panjang soal mental yang lemah, tidak cukup lihai berterus terang pada beberapa orang, atau bahkan tampil dengan kebodohan yang teramat jelas. Bagi Bara akan selalu menjadi serius jika yang diserang adalah mental seseorang.

“Rara, perempuan cerdas, punya karakter tersendiri. Kamu hanya satu-satunya di dunia, tidak ada lagi orang yang sama persis kaya kamu di dunia ini. Coba bersyukur kali ini”

“yang kedua, Rara soal mental kamu aku gak bisa banyak bantu. Aku Cuma bisa bantu mendengarkan bagaimana keluh kesah dan ceritamu soal mental. Jika sekarang kamu terjebak, hanya kamu juga yang bisa keluar dari masalah ini. Kalau kamu butuh teman cerita aku selalu ada. Butuh nasihat aku selalu ada”

“yang ketiga, Rara ingat badai pasti berlalu. Yang kamu perlu lakukan adalah menemukan solusi itu, caranya? Lakukan semua hal yang bisa membuat mentalmu sembuh, jauhi hal pemicu yang bisa bergerak membuat mentalmu jatuh kembali. Singkirkan segala bentuk hal negatif yang menyakitkan. Itu adalah salah satu cara untuk sembuh.

“sekarang, kamu mau ikut aku gak? Sapa tau ketemu teman-temanku bisa menyembuhkan.”

Kalau harus mengambil tindakan aku yakin untuk tidak boleh setengah-setengah dalam menjalaninya. Bara mengemas permukaan kalimat dengan begitu takjubnya. Aku tau ini tidak akan sembuh dengan mudah, mental yang down membutuhkan waktu cukup lama untuk kembali pulih. Dan membutuhkan seseorang untuk memberi setidaknya tempat teduh dalam mengadu keluh dan kesah yang bercampur.

Sebelum berangkat, Bara memperlihatkan bentuk perhatian lainnya. Iyah seperti sebuah bumbu penyedap yang ditaburkan dengan harap aku tak perlu menyapa dingin di sepanjang jalan pukul 24.00 tepat jam dua belas.

Entahlah setelah jenjang waktu dua tahun paska bencana terburuk aku memang harus terpaksa biasa tanpa nya. Seseorang yang sangat membekas. Bagaimana tidak bila dua tahun itu aku hidup dengannya, mengulang berbagai hal yang manis hingga menemui perdebatan panjang persoalan masalah yang kadang tinggal dan membuat segalanya terasa runyem.

Benar aku telah pulih, bahkan sudah cukup dikatakan sembuh dengan tenang. Walau beberapa kali pemicu kerap hadir dan mencoba mengobrak-abrik jiwa yang tadinya aman dan tentram.

Akupun mulai menatap hidup, memperbaiki jalan dan mencoba untuk membuka rumah yang dahulu hanya dirinya sebagai penghuni satu-satunya. Menjalin sistem teramat sulit untuk di pisahkan. Namun ternyata, ia justru menjadi api yang kupadamkan sendirian.

Setelah itu aku menata bagian yang rusak, mengembalikan perasaan pada tempatnya dan menyadarkan bahwa tak ada lagi dirinya disini. Dan saat setelah satu tahun berlalu aku pun berani mempersilahkan orang lain mengambil ruang itu. Beberapa kali berantakan tak bertahan lama, hanya hitungan bulan yang tidak menimbulkan bekas teramat dalam. Aku pun mencoba kembali mungkin yang kemarin masih merupakan pemanasan karena sudah cukup lama hatiku tidak berdebar. Maka ku ulang kembali untuk memberi kesempatan.

Akhirnya aku baru menyadari, semua telah keliru. Hubungan dua tahun itu cukup kuat berpengaruh. Aku terus saja mencari yang sama dengan dirinya, namun tetap datang dengan meyakinkan diriku bahwa dia tidak cocok denganmu. Lalu memilih berakhir.

Hingga saat ini tuhan tidak mengirimkan debar yang sama seperti kualami pertama dengan dirinya. Akupun dibuat paham, bahwa merelakanmu tidak semata-mata menghapus semua kenangan dengan lenyapnya. Seluruhnya masih tinggal dan berada pada ruangan tersendiri. Sesekali datang terungkit dan dengan kejam menyatakan rasa yang harus kurasakan sendiri.

***

“Terus gimana dengan si mantanmu itu?”

Jalanan yang kosong dan sepi memicu cerita lama kembali dikenang. Bara mengenal laki-laki yang sempat bersamaku cukup lama itu. Namun entah mengapa akan terasa buruk bila bara mengetahui hubunganku dengan dirinya.

“ah yang neror aku terus?”

“iya yang sebagian kamu udah cerita di dm”

“yah begitu gak terlalu aku respon, soalnya udah parah banget kelakuannya ke aku dulu”

“hmm sampe segitunya yah kamu ingat”

“membekas bar soalnya!!!”

Memang benar musim saja diciptakan dengan berbagai macam, dalam hubungan pun akan mengalami bermacam-macam titik atau sebuah pemberhentian. Dari badai yang mengalami kerusakan parah hingga musim semi yang begitu nikmat dihabiskan bersama-sama.

Urutan rumit itu bahkan kulalui dengan tidak sadar. Padahal di beberapa kelompok telah memberitahu bahwa ini tidak sehat, namun aku pun menjalaninya dengan sengaja dan seolah-olah semua pasti membaik dengan menyingkirkan bentuk-bentuk energi negatif yang terlalu menempel dan melabel pada salah satu persoalan.

Kemudian menguatkan atas dasar kami telah menghabiskan waktu terlalu banyak, jika ini berakhir maka akan sangat menjenuhkan apabila memulai sesuatu kembali dari awal. Itulah mengapa aku terjebak dengannya begitu lama, meminta pada segala kemungkinan untuk merubah bentuk sifat dalam dirinya. Sesekali ia memang berubah, namun itu hanya kedok yang esok hari bisa kembali seperti semula. Tahu apa yang terpenting? Agar aku berkemas dari rasa khawatir dan mulai menerima keadaan karena terbiasa. Cara satu-satunya yang dikerjakan lelaki itu adalah mengikuti kemauanku, lalu membawa pelan-pelan mengikuti hidupnya yang egois.

“Tar kalau udah sampai dan kamu gak nyaman, kode yah. Aku Cuma bentar sih. Ambil barang doang”

“oke deh aman,”

Ungkapan Bara memberi kabar kepadaku untuk secepatnya menjauh jika mental kembali di titik terburuk. Yah wajar, awal pertemuan dengan sebuah circle atau kelompok baru akan membuat beberapa orang memilih diam agar tidak terkesan sok akrab kalau bahasa gaul zaman sekarang. Atau memang ada yang cepat terbiasa dengan keadaan dan lebih cenderung mudah gabung. Namun aku memilih untuk diam dan memberi ekspresi seadanya tanpa melebih-lebihkan.

Sewaktu sampai seluruh tatapan tertuju pada aku dan Bara, tentu pikiranku jauh lebih keras menerjemahkan isi kepala mereka yang begitu banyak. Alhasil aku hanya menemukan beberapa kemungkinan yang terkuat adalah “SIAPA PEREMPUAN INI” tentu ini akan menjadi pertanyaan yang umum. Sudah kupastikan mereka penasaran.

Bara pun turun dan menyapa beberapa rekannya, sambil sedikit bercanda gurau. Lalu ia memilih memperkenalkanku dengan seadanya.

“eh iya kenalin namanya Rara,” Dan serentak mereka menyapaku dengan ramah

“Hay Raraaaa, pacarnya Bara yah”

Yah apalagi setelah penasaran jika bukan tebakan yang akan ku temui. Wajar mereka akan berasumsi seperti itu. Mungkin sudah lama Bara tidak datang atau memperkenalkan seorang wanita pada teman-teman dekatnya.

“haha bukan kok”

Jawaban yang sempurna untuk detik ini, Bara pun membantu dengan segera cabut dari tempat itu. Menyelamatkan aku adalah satu-satunya jalan yang diambil Bara.

“hah udah, cabut duluan yah”

“dada rara”

Sahut salah satu teman Bara padaku, dan aku pun tersenyum menyambut sapaan perpisahan tersebut.

Di jalan Bara berusaha menjelaskan agar tidak terjadi salah paham yang panjang di akhir cerita.

“temen-temen emang gitu harap maklum yah, jangan dimasukin ke hati” Ucap lembut bara mengkonfirmasi atas kejadian yang baru saja terjadi pada kita berdua.

“its oke, udah biasa kok”

“baguslah, haha”

Malam kian bergerak jauh lebih pekat, lampu-lampu pinggir jalan sebagian telah padam. Pertanda hari akan segera menyambut pagi. Bara menawarkan untuk mengantar pulang. Namun aku menolak, ini akan merepotkan jika aku mengiayakan tawaran itu. Sesampainya di rumah Bara, aku pun bersiap kembali ke rumah. Lalu selayaknya lelaki manis Bara melepaskan jaket dan membiarkanku mengenakan jaket miliknya.

Tidak ini mungkin bisa jadi ancaman terburuk untuk perasaanku yang sedang kalut. Ia akan segera menciptakan nyaman jika terus memberikan kejutan manis seperti ini.

“nanti kalau ada apa apa di jalan, misalnya diganggu orang langsung tekan bel di motor supaya mereka takut”

“ah satu lagi, pelan-pelan jangan laju yah”

Bara pun melempar senyuman, sedang aku mengangguk mengiyakan atas apa yang baru saja ia katakan padaku. Akupun bergegas meluncur kembali ke kediaman yang sebenarnya jaraknya cukup jauh.

***

Hari berkemas berganti, waktu pagi menuju malam. Aku masih disibukkan dengan persoalan masa lalu yang menjebak. Ia memilih hadir dengan badai kali ini. Sudah beberapa kali penolakan lebih ku utamakan. Namun entah mengapa kali ini hatiku lemah, melihat suara parau yang menjebak meminta sebuah waktu dan peluang berbicara.

Kami pun bertemu, ia berbicara menyudutkan pasangan sebelumnya yang tidak lebih sempurna dari diriku yang paham atas semua konsep pola pikirnya. Namun aku kekeh untuk tidak membuka jalan ia kembali, ini hanya pelampiasan atas perpisahannya yang baru saja terjadi.

Ia datang kepadaku membeberkan luka yang ia peroleh, menceritakan kejadian dimana ia tidak bisa berjalan di dunianya sebab larangan yang makin menjadi-jadi. Sungguh aku bosan untuk dilukai kembali atas dirinya. Sudah cukup parah ia menghancurkan perasaan selama dua tahun. Dan sekarang ia meminta kembali tanpa rasa malu, aku tidak sedang sebodoh itu.

Tahun demi tahun banyak membelajarkanku lebih baik. walau aku paham benar, belum ada satu sosok pria yang mencapai level yang telah engkau peroleh lebih dulu untuk bersanding denganku kelak.

Lebih parahnya, ia menarik paksa tanganku dan memeluk erat. Menerjemahkan perasaanya yang kacau, berusaha memberi kabar duka padaku agar mau untuk membuka kembali kesempatan. Meyakinkan dengan berbagai cara untuk mau kembali memulai hubungan dengannya dari awal.

Semua yang terjadi dengan cepat membuatku muak, aku pun meminta pulang padanya. Ini sudah tidak benar, engkau hanya sedang terluka olehnya lalu berjalan kembali padaku karena berpikir hanya aku yang dapat menerimamu tanpa perdebatan panjang. Sayangnya itu hanyalah sosok rara yang ia kenal dua tahun lalu. Seorang rara hari ini lebih mengunci perasaan dan bermain atas logika.

“ra balikan kan sama aku sekarang?”

Penekanan-penekanan atas kalimat kembali denganya yang aku terima menjadi tekanan terberat mengancam daya emosionalku. Ia tidak pernah sadar atas trauma yang diberikan, lalu dengan sengaja dan tidak tau diri meminta ku kembali. Pikiran picikmu sungguh tak pantas di anggap manusia. Ia seperti binatang yang mengemis hari ini meminta makan padaku.

Aku pun menyudahi drama ini, memilih meminta pulang dan menyelaraskan pikiran yang kotor berkat dirinya.

“Ra ini tabungan udah siap, sedikit lagi kita bisa nikah”

Entah bentuk kata berlebihan apalagi ini. Sudahlah sebesar apapun usahamu kali ini, semua hanya pelampiasanmu. Tidak lebih dan tidak kurang. Jangan harap aku menerima kembali ludah yang sudah lama ku buang jauh-jauh. Kamu boleh berharap, namun ruangku sudah tidak menerima orang sepertimu.

Sampai disini ia pun mengiyakan untuk mengantarku pulang, karena waktu yang kian meninggi dan rasa lelah yang berkeliaran.

***

Esok hari, ia menghubungiku mengabarkan kegiatannya layaknya orang berpacaran. Tidak lama kemudian kontak terdeteksi telah diblokir. Tentu saja apalagi jika bukan sedang bertemu dengan kekasihnya. Pria ini benar-benar lucu, apakah ia berpikir aku sebodoh itu untuk diperbudak dan dipermanis oleh kalimat romansa nya?. Dua tahun ku rasa sudah cukup untuk menghabiskan mempelajari karaktermu hingga tuntas.

Tak perlu berusaha, ini hanya drama fiktif yang sebentar lagi menguras tenagaku.

Benar saja setelah ku layangkan sebuah status persoalan kembalinya ia dan membungkus keadaan dengan sangat rapi lalu berpura-pura datang kepadaku dengan inisiatif pernikahan dan berakhir dengan drama. Tak lama setelah itu balasan dari seorang wanita yang diduga adalah kekasihnya datang.

“boleh sedikit tanya, tidak papa jujur saja. Saya tidak mau berantem hanya butuh kejelasan saja. “

“oh ia silahkan”

“ apa statusmu itu memang ditujukan untuk dia?”

“ah ia, maaf kamu pacarnya?”

“iyah belum lama ini balikan lagi”

“ah pantas”

Penahanan kalimat membuat wanita itu dibuai penasaran apa yang telah terjadi padaku dan pria yang terdaftar pada kategori yang jauh dari perlakuan seperti ini. Tak lama kemudian sepaket nada dering khas menghubungi telingaku mengabarkan adanya kemunafikan yang muncul kali ini.

“iya halo ada apa lagi yah”

Pria dewasa kali ini mencemari urutan isi kepalaku yang makin runyam atas kalimat yang ia lontarkan dengan nada meninggi. Akupun kesal dibuai kata-kata nya yang meminta agar segera mengarang saja apa yang terjadi dengannya di waktu itu. Manipulatif ini hanya menguntungkan dirinya, sedang aku? Harus menikmati sendiri trauma berkat dirimu yang kembali aktif.

“tidak wanita itu harus tahu perlakuanmu yang menjijikan ini,”

“wey kamu jangan bikin malu semua keluargaku yang sudah bicara serius dengan keluarga nya dia yah. Kamu bukan apa apa hanya sebatas masa lalu, tahu diri yah,” “hak kamu apa?, kamu datang sendiri tanpa aku minta sekarang kamu meminta aku berbohong lalu setelah itu mengatakan aku tidak tahu diri?, we bangsat jaga mulut kamu yah. “, “ ya sudah kamu hanya perlu bilang aja kalau aku gak bener-bener jalan sama kamu. Simple”, “aduh sory ini soal harga diri, dan kenyataan yang terjadi seperti apa ia perlu tahu kebenarannya. Ia perlu tahu semua omong kosong yang kamu tawarkan lagi kembali”,”plis aku mohon kali ini aja,”,”Gak laki-laki manipulatif kaya kamu harus diberi pelajaran. Anda yang datang dan mengaku abcd terus saat ini mengemis minta aku berbohong setelah apa yang kamu berikan?, Tidak!!!! semua yang terjadi akan aku ceritakan persis tidak kurang dan lebih”,”masalahnya kalau yang malu aku tidak apa-apa rara, mama dan keluargaku juga kebawa. Karena aku udah antar harta kerumahnya”,”bagus dong biar mereka semua tahu”.

Putusan final, seluruh kisah akhirnya sampai pada wanita yang ia sebut telah menjalani hubungan yang lebih serius ketingkat yang lebih jauh dari hanya berpacaran. Kabar pun berimbas baik, dan sudah ku duga tidak ada yang bisa didengar dari mulut pria ini. Semua terkonfirmasi berbohong, tidak ada lamaran apalagi keluarga. Rupanya ini hanya drama yang sengaja ia hadirkan sebagai upaya pelaksanaan atas rencana gila selanjutnya.

Segala pikiran mulai menemui titik tertekan, drama semakin berlanjut. Banyak kata-kata tak seharusnya terdengar harus ku rasakan dengan sakit yang menjurus. Menahan emosi hampir terlaksana seharian penuh, hingga tumpah dengan sangat tidak enak.

Bara menjadi saksi berapa banyak air mata yang menderas akibat lepasnya emosi yang sedari tadi tertahan penuh. Drama yang kian berimbas pada pikiranku kini sangat membebani. Aku terus berpikir apa yang salah dari sebuah kejujuran. Sebuah gambar berlumuran darah hinggap pada direct massanger instragram. Menyalahkan atas apa yang sudah ku ucapkan pada wanitanya. Akupun menangis sejadi-jadinya memikirkan mengapa posisi memberatkanku dan menjadikanku sebagai pelaku atas apa yang telah terjadi.

“Ra ini bukan salahmu, udah gak usah di balas. Kalau perlu blokir semua akses. Dia akan tetap menyalahkanmu secara terus-menerus karena tidak terima atas kesalahan yang telah dia perbuat. Sampai kapanpun Ra dia gak akan mengakui kesalahannya. Atau perlu aku dm si wanitanya supaya gak ganggu kamu lagi. Beban mental banget ini ra”

Bara tahu titik terpayahku saat ini, getir yang harus ku terima sendirian. Mata ku yang semakin lebam, memeluk basah yang cukup beralasan. Seakan dipaksa paham oleh keadaan, Bara membawaku berjalan-jalan. Menenangkan sebelum mencari solusi atas permasalahan yang mengikat dengan kuat. Kehadiran Bara seakan telah diatur Tuhan untuk menjeda luka bekerja jauh lebih ekstrim dari biasanya. Akupun bersandar pada bahu yang begitu respon memberikan untuk sedikit melepas resah yang berkalut saat ini.

“udah yah jangan terlalu lama buat masalah ini jadi beban, blokir semua akses supaya kamu gak terus kepikiran”

Akupun mengangguk mengikuti anjuran yang baru saja ia upayakan untuk sekadar memberi formula penenang dikala semua berantakan.

***

Satu pekan terlewati setelah kejadian itu, entah mengapa kedekatan ku dengan Bara semakin memiliki intensitas yang sangat tinggi. Kali ini ia lebih sering bertanya tentang keberadaanku, bercanda gurau hal-hal yang menyenangkan. Hingga perhatian yang ku terima dengan lengkap. Satu hari sebuah perfom dari Bara mengundang memori lagu-lagu lama yang cukup legendaris di dalam ingatanku. Lagu-lagu yang sedari kecil ku terima dan ku nikmati tanpa jeda. Ia memberi undangan secara pribadi kepadaku yang sebenarnya sangat mustahil datang pada lingkaran asing yang sangat tidak ku kenal. Namun undangan itu entah mengapa menggugah segala anganku untuk berangkat dan memenuhi saja. Apapun yang akan terjadi, konsekuensi terberat pun aku menjadi kacang polong yang diam di tengah keramaian sudah ku pikirkan matang-matang.

Sore hari undangan itu masuk, pada malam hari aku berangkat sesuai jam yang telah diberikan. Bara tersenyum lebar mendapati kehadiranku, menyapa dengan renyah dan mencoba sebisa mungkin membuat diri ini nyaman di keadaan dan lingkungan asing.

Acara dimulai, ia asik dengan semua lagu yang diputar. Sementara aku pun menyaksikan atraksi-atraksi di panggung kecil desain ala kelompoknya. Lagu seperti I don’t love you milik My Chemical Romance menjadi pemecah suasana hingga akupun lepas dan ikut bernyanyi, berteriak bersama yang lainnya.

Selang waktu berganti, malam kian larut aku memutuskan pulang. Melihat Bara yang begitu sibuk aku pun pulang tanpa berpamitan. Rencana memang tengah terpikirkan dengan memberi pesan melalui whatsapp untuk mengabarkan bahwa aku berencana pulang karena hari kian larut.

         Saat pesan hendak melaju, aku terkejut mendapati Bara berdiri tepat dibelakangku di tengah-tengah perfom musik berlangsung.

“loh kok disini,”

“udah mau cabut?” sambut Bara menatapku dengan tajam.

“ia baru mau chat, soalnya takut ganggu kamu”

“ia tadi aku perhatiin kamu keluar, jadi langsung nyusul”

Kepalaku seakan tersentak, membicarakan seluruh kemungkinan yang mulai terbelit-belit. Dengan pasukan pertanyaan kenapa, kenapa, dan kenapa.

“ya udah aku balik yah,”

“Oke hati-hati yah, pake jaket dingin. Nanti kabarin kalau udah dirumah”

Antenaku bergerak cepat menangkap pesan yang baru saja Bara kirim padaku. Seakan segalanya bergerak dengan begitu cepat. Kehadiran Bara yang menenangkan, pesan-pesan yang harus kutebak sendirian maksud dan tujuannya. Bara telah menjadi beban pikiranku akhir-akhir ini.

Aku pun pulang bersama tanda tanya besar yang lagi-lagi melibatkan perasaan yang ku kira akan mati lebih lama lagi. Kali ini aku merasa berbeda, sentuhan kalimat hingga bentuk perhatian Bara mengaktifkan segala sistem yang telah mati.

***

Pertemuan dan bentuk pesan-pesan lainnya menjadi hiburan akhir-akhir ini. Bara seperti sedang menungguku pada sebuah halte dengan memberi tumpangan yang merawat dan menyembuhkan luka dan meminta damai yang tentram. Caranya yang sederhana semakin melebur diriku dalam ramuan-ramuan aneh dan cukup berantakan. Perlakuan yang kian hangat hampir meruntuhkan tembok kokoh yang sudah kubangun agar tak bertemu bentuk sayatan apapun itu. Sebab, jatuh cinta akan selalu mengupayakan perih untuk datang dan menyapa.

Setelah tahun itu, dan harus aktif kembali aku memang sedang dalam waktu pemulihan sebab memori yang baru saja menyerang. Bara pun tumbuh dengan caranya sendiri, terkadang menjadi pesan yang kuharapkan mampir untuk sekadar bertanya keberadaanku hingga ketakutan berlebih sebab bisa jadi aku sudah menaruh hati lebih dalam padanya.

Ruang-ruang sempit kian menyiksa, mempertanyakan apa setelah ini. Haruskah luka? Atau aku bisa memilikinya seutuhnya. Tidak Rara kamu belum boleh jatuh hati, bisa jadi ini hanya perangkap nyaman saja. Kamu tidak benar-benar menaruh perasaan teramat dalam padanya.

Ku susun kekuatan, memberanikan diri bertanya sebab keanehan yang semakin lama semakin kuat. Aku tidak bisa hidup dengan perhatian Bara yang tidak jelas tujuannya. Bara memang obat terbaik yang kini mampu mengurangi rasa trauma. Bara juga memberikan cerita tersendiri yang membuka hampir beberapa sudut pandangku. Bara selalu punya alasan menjadikan momen bermakna. Aku hampir tidak menemukan sisi negatif pada diri Bara. Tak ada rahasia yang Bara sembunyikan dariku. Aku tahu semua, walau beberapa menyakitkan dan sesungguhnya sulit untuk diterima akal sehat wanita yang masih belajar mengontrol segala bentuk respon emosi.

Sesungguhnya aku tak ingin kehilangan Bara, dan jalur teraman saat ini adalah memperjelas semua keadaan yang terjadi diantara kita berdua.

“Bar, “

“yah Rara, kenapa ada yang bisa aku bantu?”

“ jadi abang aku yah, “

“kenapa ? alasannya?”

“gak tau kenapa aku nyaman aja, semua resahku mampu diobati, sudut pandangku terbuka. Kamu selalu punya cara untuk memberiku momen Bar,”

“aku gak bisa Ra, aku takut melebih”

“melebih maksudnya?”

Satu kalimat kali ini mengundang tafsiran yang beragam. Bara apa ini, hanya ada kemungkinan dibalik pesan yang telah terkirim ini.

“kita ketemu aja deh, aku gak bisa jelasin lewat chat”

“oke, dimana?”

“Besok malam, nanti kita pikirin lagi tempatnya

Waktu segera menjurus pada jadawal yang telah disepakati. Ruam pipiku dan detak jantung seakan tak ingin bersepakat. Mereka rusuh dengan sendirinya mendapati bayangan atas apa yang akan terjadi. Takdir apa yang akan menjawab persoalan ini.

Pukul 19.30, laju kendaraanku mengarah ke area perkotaan. Berusaha mengontrol lajur debar yang sedang mengembara.

Aku melihat sisi kanan dan kiri, lampu-lampu jalan yang mulai bersinar dan cukup banyak bintang menghiasi. Sesekali melempar sehimpun bibit pertanyaan yang akan dibahas. Namun justru berimbas menambah suara gaduh yang terpancar keras dari raut wajahku.

“kira-kira apakah ini akan merekah, atau justru berakhir dengan sesimple caranya yang membuatku jatuh terlalu dalam.”

Sudah beban hidup bertambah berat, ternyata menjadi dewasa harus dirubung deretan pekerjaan yang belum tuntas, beberapa rencana yang gagal atau serupa asmara yang tidak berserikat.

Baik, malam ini adalah finalnya, bila akhirnya justru aku akan dipecah-pecah oleh banyaknya kata-kata yang tidak tentram atau berakhir bahagia. Maka tak perlu membenci walau aku tau upaya menyembuhkan memang tidak akan mudah.

***

Tampak wajah gelisah sedang bertukar cengkraman. Akupun turun melambai tangan, mengucapkan seluruh sapaan yang kompleks. Bara membalas dan tersenyum lalu mengajakku pergi berjalan-jalan. Sebuah rute cukup asing berjalan-jalan antri menerjemahkan di isi kepalaku. Sebenarnya telah banyak pertanyaan mengusung ingin bersuara. Namun kalimatku tertahan sebab warna-warni perasaanku tak kian membaik. Masih berusaha menebak hitam dan putih akhir perjalanan ini.

Diantara begitu banyak lelaki yang pernah singgah, Bara hadir dengan caranya yang menyimpan jejak cukup cepat dihidupku. Aku tak pernah seberani ini menerima kekurangannya yang bahkan berbeda lajur denganku walau belum lengkap kata menyatu diantara aku dan Bara.

Seberapa lantang suaraku mengatakan bahwa aku baik-baik saja, mataku justru berulang-ulang menyiratkan bahwa lekaslah hidup sebagai jawaban. Aku benci dihina antara menyatu ataupun pergi.

Akhirnya aku dan Bara sampai pada rumah miliki sahabat dekatnya. Disana ia mengajakku pada sebuah rooftop yang memiliki pemandangan luar biasa. Lampu kota dari atas ini sungguh bisa memanjakan mata dan memberi damai pada ledakan perasaan yang sulit terkendali.

Di bawah cahaya bulan, Bara mulai mengawali kata-kata tanpa basa-basi. Menggambarkan beberapa jalan kehidupannya yang telah begitu lama aku tahu. Teka-teki berderetan meminta untuk diterjemahkan. Sialan, gambar peta ini sangat ruwet. “apa bara? Apa?” setelah ini apa?” pinta hatiku menjerit mengupayakan alternatif apa yang harus ku jawab bila Bara tidak benar-benar mengucap kata kunci. Rasanya tidak benar, jika setelah ini tidak ada jawaban pasti atas apa yang aku dan Bara rasakan hari ini.  

Kali ini Bara mendekat, setelah banyak berbincang-bincang. Matanya nampak telah lekat dengan sesuatu yang serius. Aku pun masih terdiam menantikan kata apa itu.

Bara memelukku,

Tubuhku seakan melintasi jalur terpanjang yang masih samar maksud dan tujuan nya. Namun apalagi ini, tiba-tiba wajahku berseru tenang tinggal dalam pelukannya. Apakah ini sebentuk paket bahwa ia ingin bersamaku, atau justru sebagai pertunjukan terakhir sebelum perpisahan. “Bara apa ini?”

Memang sudah cukup lama aku terpikat, namun membenarkan perasaan atas apa yang ku alami adalah malam ini. Dengan singkat bara mencium keningku. Menjawab jeratan yang sudah ku layangkan dari kemarin padanya.

Sudah diakhiri, sejak malam ini Bara telah resmi membenarkan perasaannya. Segala tentang dirinya kini telah mengikatku. Baik masa lalu, kekurangan dan kelebihan telah ku hafal sebagai rute yang harus ku lalui untuk menuju akhir yang bahagia.

***

Layaknya seorang yang memiliki hubungan. Seluruh fase menjadi lebih bermakna. Bahagia, sedih, senang, marah, kecewa sudah membalut dan memberi warna tersendiri dalam perjalanan hubungan aku dan Bara.

Melihat terlalu banyak sircle yang dimiliki Bara, aku pun berusaha untuk hadir dan akrab dengan mereka. Melihat Bara yang dengan bangga memperkenalkan ku merubah pola pikir yang awalnya merasa tidak pantas kini justru lebih bersyukur. Walau beberapa kali keras kepala aku dan Bara memang tidak bisa dibendung yang memicu perkelahian kecil antara kami berdua menjadi persoalan. Semua masih bisa untuk dikendalikan dan diperbaiki.

Aku benar-benar seperti tidak ingin mengambil langkah lain selain bersama Bara. Banya pelajaran yang ia berikan padaku. Bagaimana ia mensyukuri keberadaan dan kehadiranku adalah poin utama yang dipegang Bara.

Sebelumnya aku tak pernah sebahagia ini, diberi kasih yang tulus dan menggemaskan. Bara memang selalu handal soal itu. Walau dia tidak romantis, namun cara Bara mencintaiku selalu membekas.

***

Hingga 2 bulan berjalan. Badai mulai menerpa, menggoncang dengan sangat kuat. Lebih kuat dari persoalan biasa. Banyaknya momen berencana memisahkanku dengan Bara. Akupun selalu terganggu atas masalah tersebut. Bara datang dan menenangkanku. Aku kira masalah ini akan berakhir, justru ia kembali menyerang dengan ragam cerita yang mulai tidak bisa aku terima. Soal kekurangannya aku sudah memikirkan jauh sebelum kami memutuskan bersama-sama. Aku tahu semua tentang Bara. Tidak lebih dari dia yang seenaknya menabur duri agar kami berpisah.

Aku dan Bara terus menguatkan hubungan ini. Hingga bulan ke 4 gelombang makin membesar. Kali ini tidak datang dari orang lain. melainkan dari sifat Bara yang mulai aneh. Memang benar Bara memiliki satu moment dimana ia dengan dirinya bertengkar dalam pikiran. Banyak hal yang membuat dirinya tak bisa kontrol.

Bara menjelaskan bentuk keadaannya sekarang, aku yang masih berusaha mengerti akhirnya tak bisa memberi pernyataan apapun. Sebab dengan caranya tidak perduli dan menghilang akan melukaiku sangat parah. Perdebatan mengencang, Bara mencium keningku untuk terakhir kalinya.

Tubuhku berusaha mengekspresikan Bara sangat jauh, tatapan tajam yang selalu berakhir pasrah membuat implikasi berujung fatal. Akibatnya, aku harus membiarkan pilihan terburuk menjadi langkah terbaik hari ini. Aku yang sepenuh hati melangkah tidak membiarkan segalanya berakhir mengenaskan. Egois menjamah hampir separuh saraf kepalaku, dengan nyanyian terburuk yang selalu ku jauhkan. Paling tidak aku harus menegakkan tubuh yang jelas-jelas akan patah dengan sangat menyakitkan. Bahkan menjadi sebuah pembunuh berdarah dingin untuk diri sendiri.

Hingga pada akhirnya aku dan Bara berduka atas perpisahan, menangis seadanya, dan membiarkan memori lekat dengan ingatan. Mendukung sebuah kenyataan bahwa aku tak sekadar datang lalu bersenang-senang namun memilih mencintaimu dengan segala risiko yang ada.

Bara benar benar memilih pergi setelah aku memilih tuntas merebut segala konsekuensi yang akan terjadi di masa depan hanya untuk memilih bersamanya. Bara mengambil tindakan yang masih menjadi sebuah misteri terpahit yang tak pernah kutemui jawaban pastinya. Sampai saat ini yang aku pahami adalah, Bara tak ingin sesuatu yang diluar nalarnya terjadi padaku. Hingga pilihan terbaiknya adalah melepaskanku.

Baik apapun alasannya, aku telah terbiasa hidup dengannya. Membiarkan rumahku kali ini adalah dirinya, namun proses seakan tidak merestui hingga kami berpisah atas kehendak yang tidak jelas mengapa dan kenapa. Bara mengemas seluruh kenangannya, sementara aku masih tinggal dengan bayang-bayang sejuk itu. Pelabelan atas Bara yang nakal, suka mabuk-mabuk, dan hidup dalam pergaulan yang berbeda dengan aku tidak pernah menghalangi untuk tetap bersamanya. yah konsekuensi tetap konsekuensi. Aku berpisah dengannya kali ini dengan bumbu hambar yang tidak tahu benar apa rasanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *