Di ujung jalan sebuah perempatan, tepatnya di pinggiran kota dengan seluruh sifat-sifat “pinggirannya”. Coffea Daffodil de cafe, sebuah kedai kafe yang merampung toko bunga. Ewin Ningrat adalah pemiliknya, seorang pria berbadan besar, berewok, dengan kemeja dan celemek sedang merapihkan tatanan bunga di pagi hari. Aku yang Ewin itu, dan seperti biasa jarang sekali pelanggan. Padahal pagi hari adalah waktu yang pas untuk minum kopi dan menikmati bunga. Bunga Hyacinth hari ini sedang cerah ceria. aku tersenyum pada bunga itu. Mengharapkan kecerahannya bisa mengitari kedai ini.
Di siang hari pun hujan menghujam orang-orang yang sedang berlarian mencari tempat berteduh. Pikirku positif, semoga orang-orang yang dari terminal itu mau berteduh di kedai. Tetapi ternyata mereka lebih memilih berlari dan berusaha untuk cepat-cepat sampai ke tujuan. Menyisakan baju yang basah kuyup itu. Selang beberapa menit, seorang pria tua yang masih tegap dengan rambut putihnya berlari membawa payung menuju ke arah kafe.
“Hmm…, Hujan lebat. sialan” gumamnya mengutuk pelan, dia berteduh dan menutup payungnya. Celana hitam yang dikenakannya basah dan kotor.
Pria paruh baya itu duduk dan mengangkat tangannya memanggilku. Saat aku menghampiri, dia menepuk bangku di sampingnya, memanggilku untuk duduk
“Hujan hari ini akan cukup lama. Maukah kau menemani pria tua ini untuk satu atau dua kata ?” Senyumnya tersimpul dengan tidak memperlihatkan gigi-gigi yang tidak tahu masih ada atau tidak.
“Ini cafe sekaligus toko bunga, pak. Saya sarankan kopi juga menemani ngobrol kita” jawabku.
“Kalau begitu ajaklah teman-teman kopimu itu, aku yakin sapaan mereka hangat”
Pikirku juga menghangatkan hati.
Aku kembali ke dalam dan menyiapkan kopi untuk pria penyanjung itu. Tanganku bergerak untuk menuangkan air dengan hati-hati seraya mataku menatap lekat-lekat kakek yang menunggu di sana. Aku lihat kakek itu melihat sekitar, memandang bunga-bunga yang aku tata di sisi kiri dan kanan kedai. Aku lihat mungkin dia tidak suka bunga, tapi dia suka dengan keindahan. Aku kembali dengan membawa dua gelas kopi.
Aku duduk di sampingnya. Terasa aneh menemani pelanggan untuk ngopi di saat hujan, tapi ya karena hari sepi, hehehehehe.
“Bunga-bunga ini kau yang merawatnya ?” tanya Bapak tua memulai konversasi
“Iya saya yang rawat, pak” jawabku dengan pelan. Bapak itu menoleh dan melihat, menatap sosokku dari atas kepala sampai bawah kaki. Pikirnya mungkin tak percaya.
“Kau lebih terlihat seperti tukang cukur daripada perawat bunga, nak. Malulah dengan berewokmu” celetuknya tak terduga. Aku terheran dengan bapak yang harusnya juga terlihat seperti seorang barista daripada pelanggan. aku berdehem dan mulai menarik urat-urat di wajah ini untuk tersenyum.
Aku memang bukanlah orang yang selalu melihat ke belakang, tapi aku terbuka dengan banyak orang. Termasuk juga dengan beberapa cerita…
“Sebenarnya bunga-bunga ini milik istriku. Aku membuka cafe dan toko bunga ini bersamanya karena kami pikir selalu indah meneguk kopi dengan menatap bunga-bunga”. Bapak itu menatapku dengan pandangannya yang berganti. Sedikit tak percaya atau bagaimana aku tidak tahu, tapi aku tahu apa yang akan dia tanyakan.
“Lalu istrimu sekarang di mana?”
…sudah kuduga
“Dia meninggal setahun yang lalu. Meskipun tempat ini sepi tapi punya beberapa pelanggan setia. Dan istriku yang membuat mereka begitu. Bayangan-bayangan istriku pula yang membuatku bisa menjalankan toko ini seperti sekarang”.
Pak tua itu mengangkat gelas antik yang kuseduh dengan kopi latte dan diteguknya dua kali, sebuah racikan kopi yang mengggunakan kombinasi antara espresso dan susu dengan rasio antara 3:1, yang kurasa cukup untuk perut seseorang yang memiliki umur seperti itu.
“Kenapa kau tahu aku suka yang agak manis? Aku tidak pernah merasakannya lagi karena cucuku tidak membolehkanku minum yang manis” jawabnya dengan suara yang impresif.
“Syukurlah…, berarti hari ini adalah hari yang manis untuk bapak” jawabku sambil bangkit dari dudukku dan berjalan ke bunga-bunga yang sedang bersuka cita menerima rezeki dari Sang Maha Pencipta.
Hujan yang tadinya jatuh agak lebat kini menurunkan tingkat kederasannya, membuat segala mahkluk yang dibasahinya merasa nyaman. Aku pun merangkai tiga tangkai bunga Peony. Bunga dengan gradasi warna putih, merah mudah dan kuning gading tersebut dibungkus hingga menjadi sebuah buket. Teknik sederhana yang diajarkan oleh istriku.
“Aku tidak memesan ini” jawabnya spontan saat kusodorkan bunga-bunga Peony itu. Aku meletakkannya saja di atas meja yang sedang kami tempati.
“Ini bunga Peony, pak. Bunga ini begitu harum dan menenangkan. Saya hanya ingin memberi ini. Bunga selalu memiliki makna di setiap kuntumnya. Dan yang ini, untuk mendoakan kebahagiaan bapak”
Saat aku mengatakan hal itu pak tua tersebut menaruh gelasnya dengan keras dan tertawa dengan suara yang hampir sama kerasnya dengan hentakan gelas di piring gelasnya.
“Jadi seperti ini pelayananmu kepada pelanggan pertama ? Hah?” katanya dengan senyum yang samar menyiratkan hangat dalam cangkir kopi itu, atau mungkin manisnya kopi itu kelebihan ?
Pak tua itu mengangkat gelas lagi dan dibuat sejajar dengan dadanya. Menatap pekat dan kentalnya susu dan kopi yang dicampurkan dalam satu cangkir yang beliau nikmati. Pak tua itu menarik nafasnya dalam-dalam untuk menghirup aromanya, lalu diteguknya kopi itu lagi, mengambil tiga kuntum bunga peony tadi dan berjalan hendak keluar.
“Nak..!” suaranya mengarah kembali ke dalam seiring dengan tubuhnya yang terhenti di depan kafe, aku menengok dan beliau melihat sosokku dengan senyum yang menarik sudut bibirnya hanya pada satu sisi.
“Ya, pak ?”jawabku dengan tanya.
“Namamu siapa ?” jawabnya lagi dengan bertanya.
“Ewin, Pak. Kenapa memang?”
“Tidak, nak. Semoga sukses dengan kedaimu” jawabnya kemudian. Menutup aksi tanya jawab di hari hujan ini.
Bunga mawar merah yang bertengger manis itu membiarkan sisa-sisa rintik hujan mengelus pelan kelopak-kelopak. Entah kenapa begitu indah dipandang. Menyiratkan hari ini baik bagi bapak itu. Aku lupa menanyakan namanya, tapi bunga-bunga ini cerah saat pak tua itu melambai pergi, seolah mengucapkan ‘silakan datang lagi’.
Keesokan harinya adalah hari minggu. Hari yang menyalami seluruh dunia dengan ceria; liburan. Pagi-pagi beberapa pelanggan menghampiri tokoku dan memesan kopi yang sama, kopi Cappucino. Serbuk coklatnya mencairkan otak, ucap mereka. Terdapat juga pelanggan yang memesan bunga lily putih, dan aku berdoa agar yang dia kabungkan diterima di sisi-Nya.
Dalam kesibukan di kota pinggiran, aku malah mendapati sebuah pemandangan yang tidak biasa. Pria tua yang pernah datang ke kedaiku waktu hujan sedang bersama seorang wanita muda yang cantik jelita. Mereka mengenakan pakaian olahraga. Tapi tangan pria tua itu melingkar di pinggang si wanita dan terlihat bergerak-gerak. Aku bisa menatap jelas wajah genit pria tua itu dikala tangannya semakin agresif meliuk-liuk. Banyak kulihat beberapa orang berlalu-lalang untuk berolahraga dengan berjogging, tapi tidak ada jogging yang seperti itu…
Tak berselang lama, saat aku baru saja mengantar beberapa gelas kopi kepada para pelanggan, kakek tua dan wanita muda itu dihampiri oleh seorang wanita yang kukira umurnya sekitar 30 tahunan. Wanita itu terlihat meneriaki sang pria tua, dan sepertinya dia begitu kesal. Sedangkan wanita muda yang sedari tadi digoda itu lari dari mereka. Dan tanpa mengindahkan itu, sang wanita yang sedari tadi marah kepada sang pria tua, menamparnya dengan keras hingga membekas. Terdengar teriakan sang wanita sampai ke kedai.
“ Dasar kakek genit! Tak henti-hentinya kau menggoda anak muda. kenapa kau berperilaku seperti ini, ayah ?” teriaknya kepada sang pria tua berkali-kali.
Tunggu…, Ayah?
Sosok-sosok mereka tak kulihat lagi karena kusibuk melayani para pelanggan di kedaiku.
Pada malam hari, banyak orang-orang menyendiri di kedaiku dan membuka laptop. Kutemani mereka dengan kopi mocha, dan bunga-bunga pun mencerahkan wajah-wajah yang sibuk mengutak-atik alat serba canggih itu.
Sang pria tua datang lagi. Kali ini dia mengenakan jas tuxedo. Entah apa kelakuannya kali ini, dia datang tepat di depan kedai…
“Halo, Erwin” sapanya saat aku bertatapan dengannya.
“Maukah kau menemani pria tua ini untuk satu atau dua kata ?” Senyumnya kali ini menyiratkan kegetiran.
“Ini cafe sekaligus toko bunga, pak. Saya sarankan kopi juga menemani obrolan kita” jawabku dengan nada yang sama.
“Kalau begitu ajaklah teman-teman kopimu itu, aku yakin sapaan mereka hangat, dan kali ini aku ingin ngobrol lebih lama denganmu”.
Aku membuat kopi dengan tanganku yang sudah kucuci sejak beberapa menit yang lalu. Dua gelas kopi Flat White pun kuantarkan kepada pria yang sedang menatap bunga mawar merah.
Kali ini kami duduk di bangku depan, menatap jalanan dengan konsep ‘pinggiran’ yang melekat bagai prangko dengan sebuah surat, dan tentu saja peran prangko tersebut yang berfungsi sebagai ‘bayaran’.
“Aku melihat kau tadi pagi. Kau terlihat kaget…” suaranya menyibak jangkrik-jangkrik yang sedang bernyanyi.
“Ya… aku mleihatnya” jawabku dengan nada yang tidak kalah rendahnya.
“Yang tadi itu anakku. Mira namanya..”
Dari semua orang yang menatap pagi yang canggung itu…, mengapa aku yang ia beritahu?
“Mengapa?”
Dia pun meminum kopi Flat White itu.
“Kali ini kopinya lebih manis. Ini kopi apa, Erwin?” pertanyaannya membelok.
“Itu kopi Flat White, pak. Kopi yang memiliki rasio susu yang lebih banyak daripada kopinya dan tanpa menggunakan busa”
“Kau memang paling tahu tentang selera kopiku” pujinya dan kembali menyeruput kopi tersebut.
“Ya…, kopi itu cocok untuk anda. Kopi yang berkesan dewasa yang dilahap oleh manisnya susu. Sebuah perumpamaan kebijaksanaan yang ditelan oleh keegoisan”
Cangkir kopi yang sedang pak tua teguk pun terhenti. Pria tua itu pun meletakan cangkir ke atas piring kecilnya. Wajahnya pun berubah tidak menyenangkan.
“Apa maksudmu, nak ?” wajahnya kini menghadap ke arahku. Menampakkan wajah yang sulit kutebak. Mungkin malu atau marah…
“Aku tidak punya maksud apapun, pak. Aku menyajikan kopi ini agar kau bisa merasakan rasanya sebuah kejanggalan. Ini disebut kopi tapi manisnya menutupi rasa kopi yang original”.
Kakek itu memalingkan wajah dan mengarah kepada warna putih dan coklat di atas cangkirnya.
“Kau tahu, Erwin. Disaat tubuhmu sudah tak bisa seperti dulu lagi, kadang hal-hal gila apapun akan dilakukan demi mendapatkan ketenangan”
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan setelah mengucapkan itu. Tangannya kembali meraih cangkir kopi dan menyeruputnya dengan kidmat. Aku menatap kopi yang kubuat sendiri. Tidak berbuih tetapi manisnya melebihi kopi. Apa memang itu yang dirasakan pria tua ini…?
Tak lama kemudian dia beranjak dari bangku untuk meraih uang.
“Aku juga ingin membeli setangkai bunga mawar. Tolong bungkus dengan rapi”
Dan pria ber-tuxedo itu pun beranjak dari kedai untuk menikmati malam. Terlihat pula dari mawar yang ia pesan, sebuah tanda cinta yang di ekspresikan dengan bunga mawar merah.
Pagi yang kembali menyongsong membawa hujan gerimis dan membasuh para penghias bumi untuk kembali segar menghangatkan dunia. Aku yang berpangku pada bangku menunggu siapa saja yang datang. Pikiranku masih mengecap kejadian semalam. Sebuah kata-kata lancang yang dibalas dengan pernyataan yang penuh tanda tanya.
“Disaat tubuhmu sudah tak bisa seperti dulu lagi kadang hal-hal gila apapun akan dilakukan demi mendapatkan ketenangan”
Bagaikan kata-kata anak muda yang mencari air surga….
Seorang wanita paruh baya berlari dari kejauhan. Dia tidak menggenggam payung ataupun koran, tapi tubuhnya menerjang jutaan air yang mengalir bebas. Wanita itu pun berlari ke arah kedaiku,,.
Dia adalah putri dari sang pria tua, ibu Mira
“Ada yang melihat pria tua berbaju tuxedo ?” teriak ibu Mira itu sesampainya di depan kedai. Wajahnya pucat dan matanya melotot.
“Ada yang bisa saya bantu, bu?” sapaku mencoba untuk ramah. Namun nafasnya menjadi berhembus dengan cepat saat dia menatapku.
“Kau…, kau! Mana ayahku?”
“Aku tidak tahu”
“DI MANA AYAHKU SEKARANG JUGA ?!”
“Bu! Tenang dulu!” Teriakanku malah membuat ibu Mira tersebut langsung jatuh lemas. Membuatku kaget dan langsung mendudukkannya pada sebuah kursi.
Aku meninggalkannya sebentar untuk membuatkan kopi. Terdengar olehku samar-samar suaranya mulai terisak.
Tak berselang lama aku duduk kembali di sebelah wanita yang sedang gelisah dengan ayahnya ini. Dengan membawa secangkir kopi yang biasanya bisa menenangkan; Mochaccino.
“Minumlah, bu. Ini gratis kok”
Ibu Mira menatap kopi itu dengan mata yang masih berkaca-kaca. Menyiratkan luka di tubuhnya. Tangannya yang tergulai di atas meja menyeka kedua matanya, mengangkat secangkir kopi, lalu meminumnya. Tegukan pertama membuatnya menghembuskan nafas terbuka. Pikirku ibu tersebut membuang rasa emosional dalam satu hembusan nafasnya itu.
“Kau sering bercerita dengan ayahku?” tanya ibu Mira. Suaranya tak getar, tak seperti orang yang baru saja menangis.
“Ibu Mira ya..? Beliau baru dua kali kesini. Dan beliau sangat suka kopi yang manis” seraya aku menjawab pertanyaannya. Garis melengkung terlukis di bibirnya yang mulai tak muda lagi. Menampakan pula tawa yang renyah.
“Ah, pak tua itu. Sudah kubilang padanya gula sudah tidak baik bagi tubuhnya”
Sang ibu kembali lagi meminum kopi mochaccino. Terlihat kali ini kesedihan sudah mulai pupus dari wajahnya.
“Ayahku adalah seorang pensiunan tentara. Beliau adalah orang yang disiplin sampai akhirnya ibuku meninggal. Beliau mengurung diri selama beberapa hari, dan saat keluar, dia sudah mulai nakal dengan anak-anak muda”.
“Begitu ya..?”
“ Beliau suka yang manis-manis karena dia sangat menyayangi ibu. Istrinya itu sangat suka membuatkan kopi dengan gula”
Kakek tua itu menyiratkan sebuah hidup yang terombang-ambing kepayahan. Aku memahami rasanya kehilangan dan tak kusangka seorang pria yang kuat mampu terhempas menyentuh kegelapan dikarenakan pilar hidupnya telah berjalan mendahului.
“Bu…, Istriku yang meninggal selalu berkata bahwa kehidupan tak akan pernah hilang dari masalah. Karena kita hidup membawa masalah”.
Ibu itu tertegun….
“Kalau kakek tua itu berulah lagi, bawakan kopi dan gula. Atau bawalah kemari, agar kopi yang membuatnya terdiam dan gula yang mengantarakannya untuk bicara…”
Hujan yang mengiringi kegetiran kini mereda. Memunculkan sesosok pria dengan tuxedo yang telah tersingkap dan dasi yang sudah tak tergantung dengan rapi.
“Mira…?” Suara kakek tua yang kemarin…
“Ayah..?” ibu Mira pun terkejut, Kakek tua yang adalah ayahnya datang ke kedaiku dengan bentuk yang tak bisa diucapkan oleh alat bicara, tulisan, maupun susu dan kopi.
“Maafkan aku, Mira….”
“Tak usah berkata begitu, pak tua” dan ibu Mira pun menghujamkan pelukan…
“ Konsistensi menghasilkan rasa yang sama, seperti rasa Kopi yang dibuat pahit. Tapi karena itulah, rasa manis ada. Kopi adalah gambaran kehidupan manusia, membawakan begitu banyak sifat-sifat yang mengapung di atas asap kopi ataupun buih ekspresso. Dan begitu pula bunga, membawa berbagai warna perasaan manusia. Dan hal-hal lainnya yang melambangkan, seperti teguhnya semua rasa”.