banner 728x250

Surat Untuk Renjana

banner 120x600
banner 468x60

Winnet.id

Surat Untuk Renjana

Setelah merayakan duka dan menutup mata dengan kejam. Hari  hari menjadi lebih sering terlibat memaksa meletakkan lembaran yang baru, atau bahkan menyederhanakan luka untuk menjadi baik baik saja. Gemerlap malam pernah memelukku dalam cerita yang seperti itu adanya. Susunan lama dengan agenda agenda terencana, menjadi aspek pemberitahuan untuk tidak kembali pada lajur yang salah. Namun antara kesepakatan kesepakatan yang terjadi, aku lebih kacau dari biasanya. Kadang bekerja tak sesuai imajinasi yang terjadi. Hingga menemui tiitik terbuntu dengan langit yang tak jarang menjadi mendung, menurunkan hujan yang lebat. Sesungguhnya  kau lebih paham dari yang lain pusat akarnya, lebih mengerti seluruh nyawa dalam detak jantungku. Jika saja memilihmu adalah kesalahan, mungkin aku akan mengakhiri dengan lebih sadis dari perkiraanmu.

Jari jemariku, menelusuri pesan singkat yang membubarkan seluruh isi kepalaku secara serentak. Notifikasi berbentuk hati yang kau berikan ternyata menarik perhatian. Mengemas rapi perjalanan dengan berakhir pada sebentuk ungkapan penasaran. Rupa yang tak begitu asing, memberi sedikit kekuatan untuk berani menjelajah. Ku habiskan beberapa menit membebani diri dengan berlama-lama menatap laman sosial media miliknya. Ingin rasanya memulai pertanyaan sederhana yang mungkin dapat membangun hubungan pertemanan.

“apakah aku harus follow yah,”

Waktu telah memilih berlalu, lima menit dan semua masih bersama pertanyaan yang sama. Menimbang nimbang sisa keberanian yang masih tergenggam bersama ego tertinggi, dengan mengatasnamakan martabat. Apakah pantas memberi ruang terbaik jika pilihan yang ku langkahkan adalah tepat?, atau berhenti menjadi harapan yang pupus. Semua belum terjadi, namun lebih dulu menjadi beban yang harus ku pikirkan matang-matang.

“berani aja dulu ah, “

Kata kata itu semakin deras menyeretku masuk dengan gemuruh meyakinkan diri secara pasti. Setelah mengulur-ulur puncak keputusan membawaku menerjang segala konsekuensi atas apa yang akan terjadi berikutnya. Menyampingkan cerita-cerita lama, memberikan kesempatan untuk luka yang dijahit kembali bernyawa. Benar sudah aku telah melewati ribuan konsep dan gugatan atas permasalahan racun yang sering mengemas banyak nyawa hingga berakhir secara memilukan. Mendengarkan saja mungkin terasa menakutkan, apalagi harus menghadiri posisi dan berjuang di antara kepungan maju dan mundur. Hampir sama sebab luka luka itu memilih tinggal dan hidup secara sejahterah pada diriku. Bahkan mencari pusat nadi bagi perempuan berhati hangat adalah kemudahan bagi mereka yang berniat buruk. Semisal membuatnya bertaruh nyaman hingga pelan-pelan mengantongi secara penuh nafasnya untuk pergi.

Sebentuk notifikasi kembali mengejutkanku, perasaan emosional yang menarik guratan senyum sedang tegas tegasnya. Enggahan nafas yang entah harus bagaimana lagi aku luapkan. Kini menjelma menjadi satu satunya adegan yang memiliki puncak kadar tertinggi mengelola kesempatan ini.

“semangat yang lagi KKN”  sepucuk pesan yang mampir di kedua ruas bola mataku,

Suasana pada saat itu hampir saja membawaku terlihat mengantongi kebodohan. Namun perasaan tak dapat kubendung lebih lama lagi. Selebihnya aku membalas pesan tersebut sambil merencanakan percakapan panjang dengannya. Bukankah itu hal baik?, membicarakan perihal kehidupannya dan kehidupanku yang tentu berbeda.

Aku mengenalnya tepat tiga tahun lalu, sebatas nama dan pekerjaan sebagai orang nomor satu di kampus. Hal yang mustahil bukan jika waktu itu aku sempat menjalani sebuah percakapan lucu dengannya. Namun memang benar adanya, Berawal dari sebuah tugas yang harus membuatku turun mewawancarai seseorang, dan hari itu aku memilihnya sebagai informan. Tak ada niat lebih mengenalnya waktu itu, semua sebatas persoalan penyelesaian tugas mata kuliah. Chat yang terjadi sedikit membuat kepalaku kewalahan menafsirkannya. Pikirku hari itu adalah bagaimana bisa seorang presbem membuai dengan kata juga kalimat yang sama sekali tidak mencerminkan kepribadiannya. Akupun terus mengikuti alur dari pembahasan tersebut, hingga pada saat semua terbongkar.

“aduh maaf, itu bukan saya” Penerjemahan kalimat menjadikanku bernafas lega, setidaknya itu bukan kenyataan dan aku tidak terjebak.

Setelah mengingatkan memori lama perihal kejadian tersebut, percakapan kami semakin laju dengan pembahasan yang semakin memberat.

“chaos tadi!”

“aku tadinya mau turun, cuman teman teman bilang gak usah, jadi gak turun deh”

“ wkwkw bantu doa aja buat teman teman yang saat ini berjuang” sambil melemparkan tawa dalam bentuk uraian singkat, aku mencoba memahami sisi lain darinya. Hari itu ada satu pesan yang aku tangkap mengenainya. Kami telah berani menginjakkan kaki menceritakan persoalan paham atas dirinya dan paham atas diriku. Pelan-pelan kenangan lama mulai ia munculkan sebagai lanjutan percakapan yang tentu akan terus berlanjut jika keduanya memilih bertahan di arena.

Sambil sesekali menuang tawa yang dibalut emoji, di sudut sebuah kursi bunga biru mekar, meruas dengan harumnya. Langit langit masih berwarna putih pekat hampir penuh raganya menyerang seluruh penjuru saraf pikirku.

Kali ini muncul sejenis pertanyaan dengan takaran terpadat, menggaris tebal pena dengan maksud merumuskan jawaban jawaban dalam bentuk misteri. Aku pun berjalan menyusuri lorong rumah miliknya. Pintu itu sedikit terbuka, entah memang seperti itu yang terjadi atau dirinya hanya sedang terjebak dalam nyaman yang sekejap.

“rara raraa…”

Panggilnya yang semakin memburuk atas percakapan yang semakin sulit untuk menebak arah dan tujuannya.

“yaaah ada yang bisa diselesaikan?” gurauku mengisyaratkan rasa penasaran yang terus saja menjadi perdebatan dalam diri. Apakah aku harus lanjut? Dengan konsekuensi aku akan benar benar masuk di dalam rumahnya.

“apa yang mau diselesaikan?”

“ya allah gagal paham terus saya dari semalam”

Sejak saat keputusan terjadi, aku menganggukkan diri bahwa apa yang masih menjadi rahasia hari ini, harus benar benar dituntaskan sebelum semua semakin menjadi tidak baik.

“entahlah akupun jadi bingung”

“yang kamu pahami apa coba?”

Sesuai dengan tumpukan kalimat yang mula-mula bernyawa hingga memasuki tahap dimana nafas-nafas mencekik, gugatan atas diriku sendiri sedang tak berirama dengan baiknya. Aku harus menggali penuh sebelum semuanya benar-benar mengikat atau justru ternyata melepaskan.

“sukar untuk dijelaskan kalau hanya virtual begini, tidak akan menemukan substansi yang pas atas apa yang terjadi”

“ kode mau ketemu in?”

Musimku menjadi rusuh, ragaku gemar mencabik cabik isi kepalaku untuk liar memikirkannya, bahwa pertemuan itu akan menjadi satu satunya jalan dimana semua akan jelas tanpa membelit seperti yang terjadi di halaman ini.

“wkwkw jauh juga interpretasimu”

“habis katanya sukar dijelaskan kalau hanya berupa virtual”

“yah apalagi lawan kata virtual jika bukan ketemu? Hahahaha”

Gerimis yang lembut mendorong suasana semakin deras merona di antara aku dan dirinya. Pelan pelan sudut kami sudah terasa nyaman, percakapan yang terus mengalami peningkatan juga pembahasan yang semakin memiliki nilai estetik yang tinggi. Bagaimana bisa kataku benar benar kering dihabiskan olehnya. Belum lengkap duapuluh empat jam dirinya sudah masuk dan menjajaki sebagian bentuk emosional dalam diriku. Sejujurnya aku kesal, membiarkan dengan mudah dibuai kata dan dibentuk kalimat. Sementara memperpanjang ego untuk melepaskan semua yang tadinya berdiri tepat di sampingku, memotivasi bahkan menerapkan ketulusan untuk diriku yang belum sempurna.

Begitu mudah kau mencintainya?, kalimat ini justru telah terbenam lebih dulu dalam bayanganku. Aku masih berjalan mencari-cari alasan yang kuat untuk bisa tepat bila nantinya akan berakhir benar benar mencintainya. Setidaknya aku ingin memikirkan walau aku paham cinta adalah definisi tersulit tentang perasaan. Kau tidak akan pernah berhasil dalam meriwayatkan dirimu apakah benar benar mencintainya atau justru nyamanlah yang membumbui cinta. Bila dipikirkan dan diterangkan mungkin akan menjadi satu buah buku dengan isi perihal bagaimana bisa aku mencintaimu dengan secepat itu. Belum, hari ini aku tidak ingin menghakimi diriku dengan mengatakan aku jatuh cinta, hanya saja bila itu terjadi aku harus cepat memegang alasan terkuat. Agar kelak jika pertanyaan itu muncul aku bisa menjawabnya dengan lugas tanpa harus membohongi segala aspek keadaan yang terjadi antara aku dan dirinya.

Setelah pesan terakhir, untuk pertama kalinya kita bertemu. Janjji awal menyatakan pukul 16.00 atau pukul empat tepat.

“jadi kesini?” pertanyaan itu tak sedikitpun memberi jeda pada irama detak jantungku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Rasa rasanya aku akan meledak bila ini tak cepat terselesaikan. Ada rasa ingin temu yang besar sedang memelukku.

“jadi, ini lagi prapere (siap-siap)”

“oke aku sudah di caffe yah”

Sontak terkejut membumbui percakapan kami, aku masih dengan keadaan yang baru saja selesai mandi, otomatis akan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk berdandan dan bersiap. Ditambah perjalanan dari rumah ke caffee membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh menit jika tidak macet. perasaan semakin tak karuan memikirkannya, aku takut bila ia akan terlalu lama menunggu. Dan benar saja susulan chat kembali mengaduk aduk pola jalan tengah pikiran untuk menemukan jalan keluar dengan versi terbaik.

“masih lama?, kalau masih aku pulang dulu yah”

“oh ia, tidak papa pulang saja dulu. Mungkin 10 menit lagi aku sampai. Dan aku tunggu di caffe saja yah”

“iyah, tidak apa ini menunggu di caffee?, aku kira sudah dekat jadi tadi langsung ke caffee duluan ternyata masih lama.”

“justru aku yang gak enak jadi nunggu lama, balik aja dulu gak papa biar aku tunggu di caffee itung itung gantian hehhe”

Perdebatan itu terjadi cukup singkat karena aku memilih untuk gantian datang dan duduk di caffee sambil menunggu kedatangannya. Suasana caffee cukup ramai, suguhan pemandangan orang yang berlalu lalang ditambah pemanis buatan berupa rintik hujan kembali mengisi energi yang sempat terbuang. Di sudut sebelah kanan aku melihat sosok pria yang lengkap dengan peralatan fotonya. Mungkin ia akan mengabadikan suatu kenangan yang terjadi di caffe ini. Aku tidak tahu persis apa yang ia akan foto, hanya saja dari tadi ia sibuk mencari angel yang tepat untuk sebuah pemotretan. Bisa jadi minuman untuk menambah peningkatan penjualan caffee, atau sejenis makanan atau bahkan pasangan. Semua kemungkinan yang hinggap di isi kepalaku, hingga tersadar sebuah kopi susu dingin mampir di mejaku. Pengantarnya tentu witer atau seorang pramusaji dengan pakaian serentak dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Matanya ramah, menawarkan keperluan lain bila aku membutuhkannya.

 Tepat tiga puluh menit kuhabiskan untuk menunggunya, entah telah berapa kali aku melakukan penelusuran terhadap peta pesan darimu. Kuhafal berulang kali keadaan, mengatakan kepada diriku untuk berhenti menyudahi saja seluruh layangan harapanmu terhadap suara notifikasi yang berasal darinya. Mata ku mulai berhalusinasi, mencukur sepi dan gumpalan bayang bayangmu yang kian melekat. Apa yang harus kulakukan, wajahnya memadat detak jantungku semakin tak karuan menantinya. Apakah sedikit lagi aku akan benar benar menjadi gila sendiri, mencoba memalsukan tawa dan terlihat baik baik saja?. Cukup kali ini aku harus bertanya lebih dulu.

“masih lama?”

Tidak menunggu terlalu lama kali ini, ia membalas dengan sigap.

“ini sedikit lagi udah mau kesana, kamu ada agenda lain? atau?”

“gak ada kok, paling habis dari sini Cuma mau ambil sound system.”

“oke otw”

Kepalaku menengok ke arah jalanan, sambil memeluk debar dan ruas senyum yang semakin tak ku ketahui tuasnya berada dimana. Hujan masih sama, hanya saja warna langit mulai gelap. Lebih gelap dari biasanya, tak ada bintang atau bulan yang biasanya selalu hadir. Setelah sabda berkerumun memikirkan kata dan kalimat apa yang harus ku sampaikan sebagai tujuan dari pertemuan ini, sosoknya hadir dari balik pintu caffee. mengusap usap rambutnya yang menikam tepat di mataku. Sungguh bagaimana cara aku memalingkannya, senyum ini semakin bandel aku tidak bisa mengendalikannya. Apa yang terjadi, ini bukan diriku. Bagaimana bisa aku terpana menduduki setiap sudut wajahnya.

“udah lama?, “

“lumayan”

Gawat jika aku tak bisa menenangkan kata kataku yang menggigil, bisa bisa semua berantakan dan aku tidak akan bisa sampai pada tujuan utama kami bertemu hari ini.

“disini terlalu ramai, apa pindah di atas aja?”

“boleh, aku juga terlalu rishi kalau ramai”

“ya udah ayo pindah”

Ajakannya membuatku bernafas lega, setidaknya aku memiliki jeda untuk konsep konsep yang akan aku bicarakan. Terlebih berbicara dengannya benar benar akan menghabiskan energiku. Pikirannya yang luas serta kecerdasannya membuatku kewalahan untuk menempatkan posisi terbaik.

Aduh apalagi yang sedang berisik di kepalaku, tenang-tenang kalimat kalimat rumpang aku akan menyampaikan kepadanya. Tolong perhatikan saja perasaanku agar terkendali dengan baik.

“terus gimana?”

“apanya yang gimana”

“yah kita,”

“gini sebelum lanjut aku punya pertanyaan, dan tolong jawab serasional mungkin agar aku juga bisa menempatkan diri. Menurut mu dalam suatu hubungan penting gak ada status?”

“penting dan gak penting tergantung kesepakatan aja sih, mungkin kebanyakan orang ingin punya status agar tidak terjadi salah paham ketika orang lain ingin mendekat. Karena secara tidak langsung mereka akan sadar oh dia sedang berada di suatu hubungan. Hal itu akan membawanya secara luruh untuk berhenti dengan sendirinya. Dan untuk tidak ada status yah tergantung dari pasangan aja selagi bisa menjaga dan komitmen itu lebih penting sih.”

“oke aku paham Cuma belum sampai ke titik yang aku inginkan. Setidaknya aku paham harus bagaimana”

“sekarang aku tanya, apakah ruanganmu benar benar kosong, yah secara logis dan masuk di akal anda adalah orang orang hebat yang tentu banyak perempuan yang tergila gila. “

“oke aku paham, kamu masih belum percaya?”

“ bukan tidak percaya, hanya memastikan”

Ayo otak dan perasaan berbaikanlah, jangan mengepungku dengan pertanyaan yang semakin menguras tenaga. Serasa semakin dipecah-pecah aku benar benar bingung harus bertanaya apalagi setelah ini. Jadi tolonglah jawablah sepanjang mungkin.

“kalau aku tidak serius, untuk apa aku bela belain datang kesini di saat tadi maghku amfal. aku tadi itu sebenarnya tidak mau balik. Cuma aku ingat kamu jadi aku berusaha balik. Bahkan hampir rubuh, untung tadi ada tukang parkir yang bantu. Masih di suruh duduk dan minum. Pas udah enakan baru aku pulang untuk istirahat sebentar dan balik lagi.”

Bagaimana aku membungkus kembang api ini, dia akan segera meledak aku harus bagaimana menanggapi ini. Aku takut ini hanya alasan merdu yang sengaja dimainkan untuk meletakkan hatiku di ruangan yang tidak akan pernah membuatku bisa keluar lagi. Tunggu apakah ini rute menuju pengikraran,

“ya allah maaf aku gak tau, kenapa gak bilang padahal bisa di batalin aja janjjinya”

“yah udah gak papa. Habis ini juga aku harus ketemu dengan kontraktor, dan gak papa kamu nunggu lagi disini atau mau balik nanti kita atur waktu untuk bahas lagi. Karena kondisi disini juga tidak memungkinkan untuk aku bicara lebih luas tentang hubungan.”

“iyah gak papa ketemu aja dulu kontraktor”

“aku tinggal ke bawah dulu yah, soalnya udah nunggu ini kontraktor”

“okeee “

Dan sialnya ini bukan akhir dari pertemuan kita, aku tidak menemukan jawaban hanya setumpah penuh aroma yang masih tertinggal di sofa berwarna crem.

Satu jam berlalu, aku masih mencoba sibuk dengan permainan handphone untuk menghilangkan serangkaian jenuh yang menyebalkan tinggal dan menduduki obrolan antara kepala dan hati. Selang beberapa menit, pesan masuk darinya. Membawaku turun untuk menemuinya dengan penuh harap apa yang akan terjadi berikutnya. Dia membawaku duduk tepat di depan kontraktor. Kepalaku penuh dengan senyumnya, penuh dengan seisi wajahnya ah aku tak ingin pergi. Namun keadaan memaksa ku paham atas pekerjaan yang memeluknya hari ini. Aku akan sangat egois jika memaksa bertahan di sini, sementara ada banyak hal yang harus ia selesaikan. Dengan tetap memberi senyum, ia memberi salam perpisahan dengan janjji akan bertemu lagi. Kepalaku di usap dengan lembut, sesak nafasku semakin tak dapat di kendalikan. Apakah aku benar benar jatuh cinta kali ini?, perlakuan lembutnya membutakan segalanya, aku patah atas segala komitmen untuk melihatnya berjuang terlebih dahulu. Ah sial, mengapa kau temukan titik terlemahku. Cukup hari ini aku pulang dengan urutan kebahagiaan yang sempurna. Jangan ganggu atau berubah itu akan benar benar mematahkan segalanya.

Dua tiga hari berlalu, kami memutuskan untuk bertemu lagi memperjelas semua hubungan ini. Ia mengungkapkan semua yang pernah terjadi dalam hubungannya, aku mendengarkan dan mencoba masuk dalam kehidupannya. Tidak ada yang salah, hampir semua yang ia jelaskan merupakan toxic relationship  yang juga pernah ku alami. Setelah bercerita sabda di urai antara rumahku dan rumahnya. Kami pun menuai bersama, tinggal lebih jauh dari awalnya. Aku melihat matanya yang tulus, menyusun segala agenda kehidupan secara terperinci. Baik aku yang hadir hari ini, akan menjadi tambahan diantara daftar yang ia pikirkan kelanjutannya, begitu pula denganku. Kini peluk hangatmu menahan kepergian ku hari ini, aku memilih tinggal lebih lama mendengarkan segala cerita tentang hidupmu.

Apakah kau tahu? Bahwa hari ini aku terpaksa kembali merenung, mempertanyakan apakah kau akan bertahan dengan segala kekuranganku. Sudah ku temukan alasan mengapa aku memutuskan mencintaimu. Terlepas dari semua cerita buruk yang sebenarnya telah lebih dulu berkembang sebelum kita menyatu. Aku dengan sengaja menyingkirkannya agar tidak menjadi beban untuk tinggal di rumahmu. Aku tau, bahwa mengetahui yang jelas jelas ada dan mencoba mengabaikannya adalah kebodohan yang ku terima sendirian. Namun, memilih mencintaimu pernah membuat debar jantung tak berhenti. Bagaimana bisa aku menyingkirkannya?

 Pertemuan pertama, rumahmu terasa nyaman, itulah alasanku ingin tinggal disana menyaksikan sejuk setiap saat. Melakukan perkelahian sebagaimana seorang pasangan yang menjadi bumbu kuat untuk kita sama sama bertahan. Aku ingin melewati segala hal buruk bersamamu. Menerima semua kekuranganmu, melengkapinya dan hidup bersamamu selamanya. Itulah alasanku berani mencintaimu.

1 bulan berlalu..

         Tepatnya setelah semua yang ku susun rapi harus kembali menyiksaku. Ku kira sibukmu dapat berjeda. Hanya sekadar mempertanyakan bagaimana hari ini, apakah aku lelah? atau membutuhkannya. Aku tidak mendapatkan hal itu darimu, entah benar atau salah pelan pelan dirimu mulai acuh tanpa alasan. Berbeda saat ku temukan di awal, semuanya menjadi sepolos dan aku menjadi posisi dimana statusku saat ini adalah orang yang tidak penting di hidupmu. Mempermaslahkannya denganmu tentu hanya akan melemahkanku atas setiap kata yang hadir darimu selalu membuatku luluh dan kembali menerima. Aku memilih memendamnya walau sesekali ingin menghubungimu aku selalu menahan agar hubungan ini tetap berjalan dan seutuhnya mempercayaimu. Pekerjaanmu yang sibuk dan semua hal yang sedang di perjuangkannya tidak boleh kacau hanya karena egois dariku.

  Namun segalanya bubar, ketika satu pesan mengacaukan segala isi kepalaku. Apa yang dia katakan adalah kebenaran atas keadaan yang terjadi padaku hari ini. Toxic Relationship menyatakan bahwa kesibukan seseorang tidak akan pernah berlaku pada orang yang penting dalam kehidupannya. Aku terus mempertanyakan diri sendiri, menyalahkan atas semua hal. Apakah arti sebenarnya aku dimatamu?, ah sialnya ini sangat membebani. Aku lelah harus berada di posisi ini, bisakah kau lebih baik dalam menunjukan caramu mencintaiku secara hangat. Seperti pertama kali kita dipertemukan. Ingatanku tak pernah habis dari bayang-bayangmu, bagaimana bisa ini tidak adil. Aku ingin menuntut semua hal darimu, tapi posisiku membawa paham yang kejam.

Hingga semuanya berakhir di atas keputusanku, aku tidak ingin menyalahkanmu sepenuhnya. Aku hanya selalu ingin berterimakasih sempat memberiku kisah cinta yang hangat walau itu singkat.

Tamat.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *