Penulis: Muh. Sabir. M, SE.,M.Si
Dosen Universitas Ichsan Gorontalo
WINNET.ID – Pelaksaan pemilihan umum (Pemilu) atau pesta demokrasi selalu menjadi topik menarik untuk didiskusikan dikalangan masyarakat. Tentu ini menjadi hal yang positif bagi demokrasi bangsa Indonesia. Antusias masyarakat sangat terlihat dari semua kalangan menyambut pesta 5 tahunan itu untuk regenerasi pemimpin Bangsa Indonesia.
Meski demikian tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangan-kekurangan yang selalu menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilu sebagai bahan evaluasi agar dapat memperbaiki system demokrasi bangsa ini sehinggah pemimpin bangsa dapat lahir dari pesta demokrasi yang benar-benar diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagaimana asas Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil bukanlah merupakan pekerjaan yang hanya dibebankan kepada penyelenggra saja akan tetapi membutuhkan kerja sama dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk sama- sama memperbaiki sistem demokarasi Indonesia.
Selain itu, trasnparansi anggaran yang dikeluarkan dalam penyelenggaran pemilihan umum yang bersumber dari APBD maupun APBN harus benar-benar teralokasikan sesuai kebutuhan yang ada. Pelaksanaan Pemilu tahun 2019, Pemerintah melalui Kementrian keuangan mengalokasikan anggran sebesar Rp 25,59 triliun. Hal ini mengalami kenaikan 61% dibandingkan dengan pemilihan umum tahun 2014 yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 15,62 triliun.
Adapun rincian alokasi anggran pada tahun 2019 terbagi dalam kelompok penyelenggaraan, pengawasan dan keamanan. Pada alokasi anggaran penyelenggaraan dianggarkan sebesar Rp25,59 triliun. Sedangkan anggran pengawasan tahun 2014 sebesar Rp3,67 triliun naik menjadi Rp4,85 triliun pada tahun 2019. Anggran keamanan pada tahun 2014 Rp1,7 triliun naik menjadi Rp3,29 pada tahun 2019. Adapun untuk anggran pendukung Pemilu tahun 2014 sebesar Rp1,7 triliun mengalami kenaikan sebesar Rp3,29 triliun.
Melihat kenaikan anggaran tersebut, selayaknya dilakukan pengkajian lebih mendalam karena perubahan sistem demokrasi yang awalnya tidak serentak pada tahun 2014 menjadi Pemilu yang serentak ditahun 2019 sehingga seyogyanya perubahan tersebut seharusnya melahirkan efisiensi anggaran Pemilu. Namun pada kenyataannya perubahan sistem hanya mengalami hal yang sebaliknya yakni kenaikan anggaran mencapai 61% yang dikutip dari halaman website secretariat cabinet republic Indonesia.
Berdasarkan sumber tersebut, Kenaikan anggran mencapai dengan 61% itu disebabkan oleh 2 faktor yaitu adanya pemekararan daerah yang tadinya KPU provinsi berjumlah 33 menjadi 34 dan KPU kabupaten mengalami ketambahan 17 yang tadinya 497 menjadi 514. Namun kenaikan anggaran yang begitu besar belum mampu memberikan pelayanan penyelenggaraan pemilu yang efektif dan efisien.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Pemilu 2019 adalah pemilihan umum yang paling mengerikan yang terjadi di Indonesia karena banyak penyelenggara pemilu yang meninggal dunia sebanyak 894 dan 5.175 sakit akibat kelelahan dalam menjalankan tahapan Pemilu yang begitu padat, dan ditambah lagi honor yang mereka terima tidak sebanding dengan pekerjaan dilakukannya.
Salah satu cara untuk mengefisiensikan anggran pemilu adalah dengan mengikuti perkembangan zaman yakni revolusi industri 4.0. oleh karena itu menghadirkan teknologi dalam penyelenggraan Pemilu sangat urgen kehadirannya ditambah teknologi E-KTP sudah semestinya tersingkronisasi dengan sistem teknologi kepemiluan. Hal ini dapat membuat anggran pemilu lebih efisien dengan berkurangnya tahapan-tahapan pemilu seperti pencocokan dan penelitian daftar pemilih, pengadaan kertas suara dan kotak suara.
Kehadiran teknologi ini sangat penting dalam penyelenggaraan Pemilu karena pemilih milenial dan Generasi Z mencapai 50-60% hak suara dimana mereka merupakan kelompok masyarakat yang lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi.